Rabu, 21 April 2010

KPK HARUS DIHUKUM KARENA LUMPUH TUNTASKAN SKANDAL CENTURY Rp. 6,7 Triliun

SIKAP POLITIK

Pedang keadilan hukum KPK kembali tumpul. KPK seolah-olah menutup mata terhadap rekomendasi Pansus Century yang menjelaskan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap proses bailout Century. Rekomendasi Pansus Century yang memuat tiga hal diantaranya adalah dugaan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum adalah keputusan politik yang mengikat secara hukum yang mau tidak mau harus dijalankan oleh aparat penegak hukum. Namun sekali lagi bahwa kinerja KPK cenderung pasif , bahkan ketika sudah mendapatkan dukungan spontanitas public secara luas terhadap kasus kriminalisasi Bibit-Chandra tidak memperlihatkan kesungguhan dan keseriusan dalam membongkar skandal century sampai kini.
Sudah hampir 5 bulan lebih penanganan skandal perampokan uang rakyat Rp. 6,7 triliun di Bank Century jalan ditempat. Ketiadaan kemajuan penanganan skandal Century patut diduga bahwa KPK telah menjadi alat kepentingan tertentu yang selama ini terindikasi terlibat dalam kebijakan bailout century. Bahkan kecepatan KPK telah terlampaui dengan aparat penegak hukum lainnya dalam menangani berbagai skandal seperti kasus Gayus Tambunan, Susno Duaji, Misbhakun dan lain-lain. Seharusnya KPK memiliki independensi dari semua kepentingan tertentu termasuk kekuasaan, kini justru KPK telah menyatu dan bersama-sama dengan kekuasaan untuk mengamankan seluruh kepentingannya. Berlarut-larutnya penanganan skandal perampokan uang rakyat Rp. 6,7 triliun tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dapat dinilai sebagai itikad buruk dalam penegakan hukum. Gambaran ini memperlihatkan bahwa KPK dengan sengaja telah melumpuhkan dirinya sendiri dalam penegakkan hukum.
Kini, Rakyat telah menghukum KPK dengan tidak mendukung upaya kriminalisasi KPK atas kasus kemenangan super Anggodo. Dukungan rakyat akan kembali meluas ketika KPK membuktikan komitmennya untuk menuntaskan skandal century dengan memeriksa Sri Mulyani, Boediono dan SBY sebagai actor intelektual kebijakan bailout.
Oleh karena itu Petisi 28 menyatakan dan menyerukan :
1. Mendesak KPK untuk segera memeriksa Sri Mulyani, Boediono, dan SBY sebagai actor yang bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan wewenang kekuasaan dalam bailout century.
2. Menyerukan kepada seluruh rakyat untuk memberikan dukungan jika KPK berani membuktikan dan mempertanggungjawabkan terhadap penuntasan skandal century.

Jakarta, 22 April 2010

Petisi 28

Minggu, 18 April 2010

Tolak Liberalisasi Unggas

Pernyataan Sikap
Terkait Pemberlakuan Perda No. 4 Tahun 2007

Pemerintahan SBY –Boerdiono dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo semakin menunjukkan dirinya sebagai agen Neokolonialime dan Imperialisme (NEKOLIM). Berbagai kebijakan anti rakyat dibuat oleh pemerintah dalam rangka mendukung kepentingan modal besar khususnya modal asing untuk menguasai seluruh kegaiatan ekonomi di negara ini.

Pada level internasional pemerintah menandatangani berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan di seluruh sector termasuk pertanian dan peternakan. Akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan perangkap pangan (food trap) dimana kebutuhan pangan dalam negeri seperti beras, gandum, daging, susu, kedelai, gandum, buah-buahan, sayur-sayuran, gula, bahkan garam dipenuhi dari impor. Kegiatan perdagangan pangan tersebut sepenuhnya dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar asing.

Selain itu, berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah (Perda) dibuat dalam rangka mendukung dan memfasilitasi kepentingan pemilik modal besar asing untuk menguasai seluruh sektor termasuk sector peternakan. Padahal sector tersebut tempat sebagian besar rakyat menyandarkan ekonomi mereka yang seharusnya dilindungi pemerintah.

Di tingkat pusat pemerintah mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rangka membuka impor daging dari negara yang belum bebas penyakit hewan menular (PHM) seperti Brasil dan India. UU ini tidak hanya mengancam peternakan dalam negeri dari penularan penyakit hewan ternak kepada hewan ternak lainnya, akan tetapi juga sekaligus menghadap-hadapkan peternakan rakyat dengan impor ternak dari luar negeri yang harganya sangat murah.

Sementara di DKI Jakarta pemerintah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas. Jika membaca pasal-pasal dalam UU ini maka terlihat upaya pemerintah untuk membatasi dan bahkan memberangus usaha-usaha peternakan rakyat. Perda ini memuat tiga hal pokok ; (1) Persayaran perijinan yang sangat berat dan sulit untuk dipenuhi oleh peternakan unggas milik rakyat. (2) menjadi alat bagi pemerintah dalam melakukan penyitaan dan memusnahan (de-populasi) peternakan unggas milik rakyat dan (3) pemberian sangsi yang berat dan sangat represif terhadap rakyat. Kebijakan pemerintah DKI Jakarta akan menjadi preseden buruk yang segera akan diikuti oleh pemeritahan dearah khususnya kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Alasan pemerintah DKI adalah dalam rangka menjaga penularan penyakit ungas khususnya pada manusia. Padahal dibalik semua itu terdapat misi tersembunyi pihak asing dalam rangka memberangus basis produksi rakyat. Propaganda penyakit flu burung yang berakhir dengan pemusnahan unggas milik rakyat adalah kampanye kaum imperialis asing dalam rangka menguasai pasar ungas dan kegiatan usaha peternakan unggas di dalam negeri. Kampanye flu burung terbukti didanai oleh utang dari negera-negara Imperialis seperti Amerika Serikat (AS) dan lembaga keuangan dunia seperti World Bank (WB) yang merupakan kaki tangan AS dan sekutu-sekutunya.

Kebijakan pemerintah pusat dan Pemda DKI Jakarta yang kontraproduktif tersebut ditujukan untuk (1) melemahkan dan bahkan menghancurkan secara perlahan-lahan usaha peternakan dalam negeri khususnya peternakan unggas milik rakyat. (2) Meningkatkan ketergantungan pangan khususnya produk ternak ungas dari impor. Semestinya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana memajukan peternakan nasional dengan membuat kebijakan dan peraturan daerah yang menguntungkan rakyat.

Atas hal tersebut kami menyatakan menolak Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas dan mendesak Pemerintah SBY - Boediono khususnya Pemda DKI Jakarta Fauzi Bowo untuk :

1. Mendesak Pemrov DKI untuk membatalkan Perda No. 4 th 2007 yang akan menghancurkan usaha-usaha kecil rakyat yang menopang perekonomian Nasional.

2. Melindungi usaha-usaha peternakan ungas rakyat dan melindungi pasar unggas dalam negeri dari impor ternak dan produk ternak.

3. Memberikan susidi dan insentif yang besar kepada usaha-usaha peternakan unggas milik rakyat dan peternakan milik rakyat lainnya.

4. Menyediakan fasilitas, infrastuktur, tehnologi dan ilmu pengetahuan rangka memajukan usaha peternakan unggas rakyat dan peternakan milik rakyat lainnya.


Demikian pernyataan ini disampaikan untuk dilaksanakan seluruhnya sebagai strategi dasar dalam mengatasi krisis pangan, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.


Jakarta 22 Maret 2010


Petisi 28

Kamis, 15 April 2010

Negara Pelayan Modal (Sebuah Keprihatinan terhadap upaya paksa Negara dalam men-privatkan Pelabuhan Tanjung Priok)

oleh : Gigih Guntoro

Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud.
Sebagai sebuah bangsa yang memiliki kedaulatan ekonomi dan politik berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila, kini Indonesia hanya sekedar menjadi pasar, sasaran eksploitasi alam, dan sasaran eksploitasi tenaga kerja murah bagi kemajuan negeri-negeri kapitalis maju. Produktivitas rata-rata masih sangat rendah sementara, konsumtivisme dipaksa menjadi budaya dominan. Pengangguran semakin banyak, kemiskinan bertambah, dan praktek percaloan bukan sekadar budaya di sektor ekonomi tapi, juga melanda sektor politik dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Penghancuran industri strategis nasional oleh Negara justru marak terjadi pada era reformasi. Atasnama “efisiensi” Negara melakukan program privatisasi terhadap seluruh asset strategis sebagai satu paket kebijakan nekolim. Pemerintah selama ini beragumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk menutup deficit anggaran. Privatisasi dipercaya sebagai jalan menghilangkan intervensi politik (birokrasi Negara) terhadap BUMN. Privatisasi juga dianggap cara yang paling ampuh untuk menyehatkan dan meningkatkan kinerja BUMN.
Privatisasi menjadi satu paket dengan liberalisasi ekonomi dan deregulasi yang kini berujung pada dominasi modal asing terhadap 90% pengelolaan migas, 50% penguasaan perbankan nasional
Privatisasi sebagai upaya untuk mengambilalih ekonomi nasional. Penguasaan asset-aset strategis nasional seperti air, tanah, migas dan lain-lain pada hakekatnya sebagai bentuk penjajahan baru. Agresifitas kekuatan modal asing dalam melakukan ke privat-an terhadap ruang-ruang public selama ini justru telah memuluskan penyedotan surplus ekonomi rakyat. Meluasnya pembentukan ruang-ruang privat inilah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai neo kolonialisme (NEKOLIM) ekonomi Indonesia.
Kegagalan pemerinah dalam pengelolaan ekonomi public (BUMN) sebagai bagian dari warisan struktur ekonomi colonial sentralistik yang mendoron ifisiensi dan eksploitasi BUMN. Negara justru telah bertransformasi menjadi pelayan kapitalisme global yang jelas bertolakbelakang dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

Liberalisasi Sektor Pelabuhan
Agresifnya modal asing dalam melakukan ekspansi kekuasaan ekonomi politik melalui produk regulasi di wilayah Indonesia sudah tidak dapat terbendung. Aset strategis termasuk pelabuhanpun (Pelindo) secara perlahan sudah dikuasai oleh modal asing, Saat ini kepemilikan sahan perusahaan afliasi PT Pelindo II sebanyak 51 persen kepemilikan sahamnya dimiliki oleh Grosbeak Pte.Ltd sebuah anak perusahaan Hutchinson Port Holding dari Hongkong. Perusahaan ini memperoleh konsesi 20 tahun untuk mengelola pelabuhan priok.
Pelabuhan di kota-kota besar khususnya di Medan, Batam, Jakarta, Surabaya/Gresik/Tuban, Makassar menjadi pilot project terhadap keberhasilan ekspansi modal asing sebagai Port Operator. Paket liberalisasi pelabuhan ini sebenarnya untuk memuluskan jalannya liberalisasi perdagangan, system yang menghilangkan proteksi Negara dengan membentuk kawasan ekonomi khusus (KEK) di beberapa kawasan pelabuhan strategis.
Melalui UU Pelayaran No.17 Tahun 2008, paket liberalisasi pelabuhan memiliki legitimasi secara hukum. Peluang masuknya orang ataupun perusahaan dalam membangun atau mengelola terminal di pelabuhan Indonesia yang selama ini dioperasikan Pelindo akan semakin mudah. Produk legislasi inipun menjadi ancaman terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia dan tentunya akan mengurangi pendapatan Negara berupa pajak dan deviden yang pada tahun 2007 mencapai Rp.1,180 triliun. Seiring dengan itupun, bahwa paket UU no.17/2008 menguatkan program Free Trade Agreement di tingkat kawasan ataupun G to G yang menegaskan pada ketiadaan biaya tariff (tarrif non barrier) pajak bea.
Dalam satu sisi, kondisi ini merupakan tantangan terhadap percepatan perdagangan bebas, namun kondisi real industri nasional yang sedang mengalami kebangkrutan dalam dasawarsa terakhir tentunya akan kalah bersaing dengan industri Negara maju yang sudah menancapkan kakinya di Indonesia. Kran liberalisasi yang dibuka secara luas dan kekuatan modal asing yang terus meluaskan ekspansi jajahannya tentunya akan berdampak buruk terhadap kedaulatan ekonomi politik.
Liberalisasi tidak mengenal batas social dan budaya, mereka merangsek dan menghancurkan pondasi kehidupan budaya rakyat. Tidak terkecuali upaya penggusuran makam mbah Priok secara paksa oleh Pelindo II adalah contoh kecil dari agresifnya kekuatan modal dalam menghancurkan tradisi/keyakinan warga. Atasnama modal, kekuasaan telah sewenang-wenang terhadap perlindungan hak asasi manusia dan hak ulayat warga yang mempertahankan tradisi/keyakinan tersebut secara turun temurun.
Oleh karena itu, pelabuhan harus dikembalikan pada fungsi awalnya yang tidak hanya sebagai pusat perdagangan (ekonomi) tetapi juga sebagai basis kekuatan politik dan benteng pertahanan dari ancaman perdagangan bebas yang tidak mengenal toleransi sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Proteksionisme dan monopolistic terhadap peran pelabuhan oleh negaralah yang dapat menjaga dan memperkuat basis ekonomi nasional dari ancaman perdagangan bebas sehingga pondasi dan tatanan ekonomi nasional dapat bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa lain.

STOP PRAKTEK BANALISME !! Keprihatinan terhadap kekerasan di Koja Tanjung Priok Jakarta

Satpol PP yang baru saja berulang tahun ke-60 justru tidak menunjukkan perubahan orientasi dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai alat penegak hukum. Satpol PP menjadi aktor utama dalam menghadirkan praktek kekerasan terhadap warga yang mempertahankan hak-haknya hampir di seluruh daerah. Praktek Kekerasan secara brutal seolah-olah menjadi satu-satunya alat untuk menjalankan kebijakan pemerintahan. Praktek penggusuran warga etnis China Benteng, penggusiran pedagang kaki lima di seluruh pasar DKI hingga penggusuran makam Keramat Mbak Priok yang disertai dengan penangkapan, penahanan dan sampai penyitaan yang sewenang-wenang merupakan pelanggaran hukum. Penggusuran secara paksa terhadap makam Mbak Priok adalah bentuk arogansi kekuasaan (Pemprov) dan modal (Pelindo) dalam merusak budaya Islam yang seharusnya dipelihara oleh negara. Arogansi kekuasaan dengan kekerasan justru telah menjadikan budaya yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wajah Satpol PP yang penuh dengan kebrutalan dan banalisme ini merupakan cerminan dari karakter pemerintah yang selalu mengedepankan kekerasan dalam “menertibkan” rakyat. Potret ini memperlihatkan pada ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan adminitrasi yang akuntabel dan pengelolaan persoalan-persoalan perkotaan dan kemiskinan tanpa kekerasan. Pemerintah masih memandang kekumuhan dan kemiskinan musuh bersama yang harus diperangi dengan kekerasan, rakyat miskin sebagai warga “liar” yang mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Rakyat miskin masih dianggap penyakit masyarakat. Oleh karena itu rakyat miskin mesti disingkirkan dari kota.

Penyingkiran terhadap rakyat miskin ternyata telah menjadi lahan subur praktek korupsi, pemerasan dan bisnis atau komoditas kemiskinan di lingkungan pemprov. Rakyat miskin menjadi obyek ekonomis yang dipelihara kemiskinannya, dianggarkan status miskinnya, dan ditangkap kemudian diperas harta dan kehidupannya dengan ukuran ekonomis atau uang secara berulang-ulang sehingga menjadi komoditas yang menguntungkan. Terlebih kemiskinan telah menjadi proyek besar Pemda dengan anggaran besar pula.

Terus maraknya praktek kekerasan oleh aparat penegak hukum merupakan bukti dari kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk pemenuhan dan penegakkan HAM. Penghormatan terhadap HAM hanya bersifat normative, hanya pengakuan terhadap tata nilai HAM, sedangkan implementasinya pemerintahan selalu absen. Kini, Praktek Banalisme seperti ini justru telah menghancurkan citra pemerintahan yang kian terpuruk dalam memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap warga. Pendekatan hukum dengan kekerasan justru telah menjadi preseden buruk terhadap penegakkan hukum dan hak asasi manusia.

Oleh karena itu, Kami dari Petisi 28 menuntut :
1. Bubarkan Satpol PP yang telah menjadi alat kekerasan negara dalam menjalankan tugasnya.
2. SBY- Boediono harus bertanggungjawab terhadap praktek-praktek kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum diseluruh daerah.
3. Gubernur, Wakil Gubernur DKI Jakarta ( Fauzi Bowo dan Prijanto) dan Kepala Satpol PP (Harianto Bajuri) untuk mundur dari jabatannya karena telah gagal memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap rakyat dengan melakukan pembiaran kekerasan terhadap rakyat.
4. Walikota Jakarta Utara untuk mundur karena telah bersekutu dengan kekuatan modal untuk melakukan penggusuran terhadap makam Mbak Priok dan kekerasan terhadap rakyat.
5. Periksa, adili dan tangkap Dirut Pelindo beserta jajarannya karena telah melakukan dugaan scenario penggusuran disertai dengan kekerasan terhadap rakyat.


Jakarta, 15 April 2010
Hormat Kami,

Petisi 28

Facebook : petisi dua delapan
Twitter : petisi 28