Senin, 13 Desember 2010

LAWAN KENAIKAN HARGA BBM, TOLAK PENGALIHAN PREMIUM KE PERTAMAX

Sikap politik tentang Pelarangan penggunaan BBM bersubsidi untuk rakyat


Rencana pemerintah SBY mengalihkan penggunaan BBM permium dengan pertamax pada awal 2011 jelas adalah strategi untuk menaikkan harga BBM. Adapun harga premium saat ini sebesar Rp. 4500 sedangkan harga Pertamax sebesar Rp. 6900. Itu berarti pemerintahan SBY hendak menaikkan harga BBM yang menjadi kebutuhan dasar rakyat sebesar 51 %. Itu juga berarti bahwa selama masa pemerintahannya SBY telah menaikkan harga premium sebesar 283 % (2004 -2010).

Kebijakan ini adalah bagian dari konsep liberalisasi energi mulai dari hulu (eksplorasi & eksploitasi migas) hingga hilir (distribusi dan perdagangan migas). Kebijakan ini akan semakin mendorong dominasi modal asing di sektor hilir/perdagangan BBM. Selama ini Pom Pom bensin milik Shell, Chevron, Exxon, Total, BP, Petronas, sulit bersaing dan bahkan terancam tutup dengan tingkat harga premium Pertamina. Kebijakan SBY mengalihkan premium ke pertamax sebenarnya adalah dukungan langsung terhadap perusahaan-perusahaan asing dalam rangka menggantikan peran pertamina dalam perdagangan ritel BBM. Kebijakan SBY akan semakin melengkapi penguasaan modal asing di sektor energi secara keseluruhan baik di hulu maupu di hilir. Saat ini di sektor hulu 85 % kekayaan minyak Indonesia dikuasai modal asing.

Kebijakan menaikkan harga energi merupakan bagian dari komitmen SBY terhadap tuan-tuan modal internasionalnya dalam hal ini Amerika Serikat (AS), IMF dan World Bank. Salah satu rekomendasi pertemuan G-20 Korea November 2010 lalu (pertemuan negara dengan 85 % PDB global) adalah mendorong anggota G20 untuk mencabut subsidi BBM sebagai bagian dari strategi mengatasi climate change dengan mengurangi penggunaan energi. Sikap penurut SBY dimotifasi oleh harapan memperoleh bantuan utang dari negara maju dan lembaga keuangan internasional untuk mengisi kantong APBN. Sementara APBN sendiri semakin tidak efisien karena tergerus oleh korupsi yang dilakukan jajaran pemerintahan SBY.

Kebijakan mencabut subsidi BBM merupakan strategi memposisikan APBN mengabdi sepenuhnya pada kepentingan nekolim. Bayangkan jumlah kewajiban membayar utang pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah dalam APBN mencapai Rp 97 trilun (2010), bunga hutang dalam negeri pemerintah sebesar Rp 77,43 trilun (juga mayoritas diterima asing). Jumlah pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang DN dan LN pemerintah mencapai Rp 174,43 triliun. Nilai tersebut melebihi seluruh penerimaan sumber daya alam hasil tambang, migas dan ekploitasi SDA lainnya yang hanya sebesar Rp 111,45 triliun (data pokok APBN 2010). Fakta tersebut berarti asing mendapatkan semua manfaat dari ekploitasi kekayaan alam negeri ini, dapat hasil keruk dan mendapatkan kembali nilai bagi hasil dan royalti yang diserahkan sebelumnya kepada negara melalui bunga utang.

Kebijakan mengalihakan premium ke pertamax merupakan bagian dari strategi untuk mengancurkan usaha-usaha yang dikerjakan oleh rakyat dan menggantikannnya dengan usaha-usaha pihak asing sampai ke tingkat perdagangan eceran. Saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal (75 %). Sebagian besar masyarakat menggunakan transportasi pribadi, sepeda motor, mobil pribadi, untuk kebutuhan usaha. Hal ini terjadi karena kegagalan pemerintah membangun sarana transportasi massal dan murah. Sehingga kebijakan menaikkan harga BBM akan meningkatkan ongkos produksi usaha-usaha rakyat tersebut yang dapat berimplikasi semakin hancurnya usaha-usaha rakyat tersebut.

Kebijakan menaikkan harga BBM melalui pengalihan premium ke Pertamax menunjukkan bahwa pemerintahan SBY adalah agen nekolim dan harus mundur atas pelanggaran terhadap pancasila dan UUD 1945. ***

Pajak Rakyat Miskin VS Baiout, Subsidi dan Pengemplangan Pajak oleh Perusahaan Besar dan Korupsi para Pejabat Negara

PEMERINTAH SBY menampakkan dirinya sebagai pemerintahan yang tidak punya rasa malu. Ditengah tontonan korupsi pajak triliunan rupiah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan orang-orang kaya di Republik ini, pada saat yang sama pemerintah hendak memungut pajak dari orang-orang miskin, rumah-rumah makan skala kecil, warung tegal dan sejenisnya.

Tidak tanggung-tanggung pemerintah akan memungut pajak 10 persen (sebesar Rp 1000 untuk setiap belanja Rp. 10.000) dari rumah makan kecil tempat rakyat bertahan hidup dalam tekanan krisis, kemiskinan, pengangguran dan PHK. Nilai sebesar itu setara dengan seluruh keuntungan yang mungkin diraih oleh seluruh warteg-warteg. Itu berarti jerih payah dan keringat rakyat yang tertatih-tatih hendak disedot juga oleh penguasa negeri ini.

Padahal usaha-usaha rakyat tersebut setiap hari berada dibawah tekanan dan ancaman penggusuran dari pemerintah sendiri. Dalam rekaman publik, pemerintah SBY dan pemerintah DKI Jakarta dan juga pemerintah kota-kota besar lainnya di indonesia adalah pihak yang sangat agresif menggusur PKL, Warteg dll.

Kebijakan pemerintah SBY, Foke, kali ini semakin menunjukkan wataknya sebagai rezim yang anti rakyat. Selama ini pemerintah menekan kehidupan rakyat dengan berbagai pajak dan pungutan yang memberatkan yang menjadi sumber hancurnya usaha-usaha kecil. Satu sisi pemerintah menaikan cukai dan berbagai jenis pajak dan pungutan kepada rakyat, sementara pada sisi membebaskan pajak bagi perusahaan-perusahaan besar khususnya asing yang merampok sumber daya alam Indonesia.

Jika kita lihat komposisi penerimaan negara sebagaimana yang tercermin dalam APBN sebagian besar sumber penerimaan pemerintah berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat indonesia. Sebanyak 37,66 persen atau sekitar Rp 319.610 trilun berasal dari PPh, sebanyak 27,53 persen atau sebesar Rp 233.649 berasal dari PPN, sebayak 6,4 persen atau sebesar Rp 54,4 trilun berasal dari cukai. Sedangkan penerimaan sumber daya alam dari minyak bumi hanya 7,35 persen atau sebesar Rp 62,352 triliun, sebanyak 3,49 persen atau Rp 29,647 dari penerimaan ekploitasi gas. Secara keseluruhan penerimaan sumber daya alam hanya sebebsar 12,22 persen atau sebesar Rp 103,693 triliun (Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tahun 2009).

Padahal pemerintah telah memberikan fasilitas yang luar biasa besarnya terhadap pengusaha besar. Pengusaha asing boleh menguasai tanah dalam jangka waktu 95 tahun dalam skala yang sangat luas dan tidak ada batasannya. Pemerintah juga memberikan fasilitas keringanan pajak dalam berbagai bentuk seperti tax holiday, dan berbagai kemudahan dibidang perijinan dan lain sebagainya. Sementara pada saat yang sama usaha-usaha yang dikerjakan oleh rakyat setiap hari berada dibawah ancaman perampasan tanah dan penggusuran.

Selain itu pemerintah memberikan banyak sekali dukungan finansial kepada perusahaan besar khususnya perusahaan asing melalui stimulus fiskal atau sejenis pajak yang ditanggung oleh pemerintah dan tidak perlu dibayarkan oleh pengusaha. Pemerintah juga memberikan kemudahan kepada pengusaha besar dalam memperoleh fasilitas kredit, dana liquiditas bagi perbankkan yang bangkrut. Ketika-usaha-usaha besar itu bangkrut baik karena korupsi maupun karena manajemen yang buruk, pemerintah yang menanggung seluruh utang-utang mereka. Kasus bailout Bank Century menunjukkan betapa pemerintah dan pengusaha secara bersama-sama melakukan kejahatan ekonomi dengan merampok uang rakyat.

ATAS DASAR hal di atas, kami menyatakan menolak tindakan pemerintah memeras rakyat kecil dan menuntut pengusutan tuntas korupsi dugaan pajak yang dilakukan oleh Newmont, Freeport, Chevron, Group Bakri, Bank Century, dan korupsi perusahaan besar lainnya yang mengeruk kekayaan alam Indonesia. Kami mendesak presiden SBY mundur karena tidak mampu memberantas korupsi, membiarkan kekayaan alam indonesia dirampok perusahaan asing dan bahkan telah menjadi bagian dari seluruh masalah korupsi di Republik ini.

Jakarta, 4 Desember 2010

Salamuddin Daeng
Juru Bicara Petisi 28/ Hp : 081805264989

KONSTITUSIONALITAS PENDAPAT PUBLIK tentang PENGGULINGAN SBY

Beberapa hari belakangan ini, kata “penggulingan” lebih sering terdengar dari biasanya, entah dari para pengkritik Presiden SBY atau dari politisi, baik yang oposan maupun yang sebiduk dengan Presiden SBY. Rupanya keadaan politik aktual memancing reaksi yang sedemikian dahsyat sehingga kata tersebut lebih sering muncul dari biasanya. Pendapat ini bukannya muncul tanpa alasan, selain karena momentum 1 tahun pelantikan Presiden SBY, pendapat ini muncul karena fakta menyeruak tentang kegagalan Presiden SBY dalam menjalankan amanahnya sebagai Presiden.
Kata “konstitusionalitas” adalah antonim dari kata “inskonstitusionalitas” yang menyatakan sebuah keadaan yang sesuai dengan norma yang termaktub dalam konstitusi. Beberapa tokoh publik ramai-ramai memberikan pendapat bahwa pendapat (publik) yang menyatakan Presiden SBY layak digulingkan adalah inkonstitusional perlu dikaji secara komparatif, terutama dengan perilaku SBY sebagai Presiden RI. Wacana penggulingan SBY sendiri telah menjelma menjadi entitas publik yang dapat memiliki sebuah implikasi konstitusional (dan juga implikasi inkonstitusional), tergantung dari bagaimana pendapat itu akan disalurkan. Bahwa SBY adalah Presiden sah yang dihasilkan melalui pemilu adalah benar, namun di sisi lain berpendapat tentang sesuatu adalah hak yang dilindungi oleh konstitusi, juga benar adanya.
Konstitusi kita mengatur bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945), dimana UUD mengamanatkan diadakannya sebuah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sendiri adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945). Kemudian UUD 1945 juga mengatur jika Presiden dapat diberhentikan dengan syarat-syarat tertentu (Pasal 7B UUD 1945). Lalu bagaimana jika Presiden telah terpilih secara sah melalui pemilu, tetapi melakukan pembangkangan terhadap putusan lembaga Negara (DPR dan MK)? Atau jika kebijakan Presiden tidak berpedoman kepada UUD 1945? Atau jika Presiden terpilih mendapat penolakan secara masif di publik, meski kekuatan eksekutif dan legislatif berkongkalikong mempertahankannya, dan kemudian dianggap tindakan inkonstitusional?
Menyoal tentang pembangkangan terhadap putusan lembaga Negara, Presiden SBY setidaknya telah 2 kali melakukan hal tersebut. Pertama, adalah sesaat setelah keputusan Sidang Paripurna DPR yang menyatakan proses bailout Bank Century menyimpang, namun Presiden mengatakan bahwa kebijakan bailout Bank Century adalah tidak melanggar hukum. Kedua, mengenai Putusan MK yang menyatakan jabatan Hendarman Supandji adalah ilegal pasca dibacakannya putusan tersebut. Terhadap Putusan MK ini Presiden melalui Sekretariat Negara dan Staf Khusus bersikukuh masih menyatakan Hendarman sah sebagai Jaksa Agung (sebelum akhirnya mendapat tekanan publik). Dari 2 contoh diatas, sebenarnya Presiden telah layak dikualifikasi melakukan Pelanggaran Sumpah dan Janji sebagai Presiden sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 9 ayat 1 UUD 1945, dimana Sumpah dan janji Presiden adalah untuk memegang teguh UUD, yang juga mengandung arti mentaati seluruh keputusan lembaga Negara (termasuk DPR dan MK) yang lahir dan diberikan kewenangan oleh UUD 1945. Terhadap perbuatan ini, sebenarnya Presiden SBY telah melanggar Pasal 7A UUD 1945, sehingga layak diusulkan untuk diberhentikan. Tapi apalah daya, ternyata kekuatan DPR/legislatif ternyata tidak cukup berani menyatakan hal tersebut sebagai pelanggaran konstitusi/inkonstitusionalitas Presiden SBY.
Menyoal tentang kebijakan Presiden yang tidak berpedoman kepada UUD 1945, setidaknya terindikasi dalam pembentukan lembaga antah-berantah yang bernama Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) melalui Keppres Nomor 37 Tahun 2009. Selain tidak ada dalam struktur ketatanegaraan, lembaga ini juga rawan politisasi karena hanya menjadi lembaga citra Presiden SBY yang seolah-olah telah memberantas korupsi, dan sangat subyektif dalam memilih kasus yang akan diangkat karena Satgas PMH bertanggungjawab kepada Presiden melalui UKP4. Dalam sepak terjangnya Satgas juga telah melakukan diskriminasi dengan tidak menyentuh sama sekali dugaan pelanggaran hukum yang bersifat mafia yang melibatkan Presiden, Istana dan kroni-kroninya. Bahkan yang lebih parah, Satgas PMH juga gagal mengungkap alasan utama pembentukannya, yaitu Kriminalisasi KPK. Jadi dapat disimpulkan Presiden SBY telah melakukan pelanggaran UUD 1945 Pasal 17 Tentang Kementerian Negara, dimana untuk melaksanakan kewenangannya Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara. Pembentukan Satgas PMH melalui Keppres adalah bentuk inkonstitusionalitas nyata yang dilakukan Presiden SBY.
Selain inkonstitusionalitas diatas, Presiden SBY juga melakukan perbuatan tercela dengan memberikan Grasi kepada terpidana koruptor yang telah divonis pengadilan. Perbuatan tersebut memang konstitusional (karena sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat 1), namun masuk dalam kualifikasi tercela karena Presiden telah melakukan perbuatan sewenang-sewenang dengan menggunakan kekuasaannya untuk memberikan Grasi kepada orang yang tidak tepat. Bahkan atas perbuatan ini Presiden SBY layak mendapat julukan pro koruptor dan kontra terhadap pemberantasan korupsi. Atas perbuatan tercela tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 7A UUD 1945, Presiden SBY sebenarnya juga layak untuk diusulkan diberhentikan. Namun apa mau dikata, lagi-lagi kartel eksekutif dan legislatif bersatu erat dalam satu kekuatan memicingkan mata atas fakta ini.
Atas keadaan diatas wajar jika kemudian muncul sebuah rasa ketidakpercayaan mendalam dan meluas yang dialami oleh rakyat Indonesia. Ketidakpercayaan itu kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan masif yang menilai Presiden SBY gagal memimpin dan layak untuk diganti (baca: digulingkan). Namun apa hendak dikata, jalan konstitusional telah ditutup rapat oleh DPR yang berdagang sapi dengan Pemerintah untuk menutup semua peluang pemakzulan, sehingga rasa ketidakpuasan ini muncul dalam banyak momentum dan di berbagai media sosial yang intinya menyatakan kekecewaan terhadap pemerintahan Presiden SBY.
Pendapat untuk menggulingkan kemudian dicap sebagai gerakan inkonstitusional karena dianggap melanggar konstitusi (UUD 1945). Anehnya dugaan ini justru berkebalikan dengan amanah UUD Pasal 28E ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Jadi atas pendapat publik yang menyatakan bahwa Presiden SBY layak digulingkan dikualifikasi sebagai langkah inkonstitusional oleh beberapa pihak, justru harus kita pertanyakan konstitusionalitasnya. Kemudian atas langkah tersebut, perlu kita kaji secara komparatif terhadap langkah-langkah Presiden SBY yang justru inkonstitusional seperti yang sudah tersebut diatas. Jadi siapa sebenarnya yang inkonstitusional?
Atas rumitnya keadaan diatas sebenarnya ada sebuah exit emergency yang konstitusional (karena diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat 1 UUD 1945) dan konvensi ketatanegaraan yang terlah dicontohkan oleh Presiden Soeharto, yaitu dengan cara menyatakan berhenti. Mengapa jalan ini penting untuk dipilih? Pertama, bahwa langkah ini merupakan langkah preventif untuk mencegah agar kekecewaan rakyat tidak berubah menjadi gerakan yang destruktif seperti kejadian tahun 1998,1965, dan 1974; Kedua, langkah ini elegan, tidak mencederai demokrasi dan bersifat konstitusional; dan ketiga, agar agenda penyelamatan bangsa dari keterpurukan tidak terhambat oleh sifat ego mempertahankan kedudukan secara membabi buta, baik yang dilakukan Presiden sendiri maupun para penjilatnya.


Ahmad Suryono
Tim Hukum Petisi 28
ahmad.suryono@gmail.com (0812 2510 3500)