Kamis, 15 April 2010

STOP PRAKTEK BANALISME !! Keprihatinan terhadap kekerasan di Koja Tanjung Priok Jakarta

Satpol PP yang baru saja berulang tahun ke-60 justru tidak menunjukkan perubahan orientasi dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai alat penegak hukum. Satpol PP menjadi aktor utama dalam menghadirkan praktek kekerasan terhadap warga yang mempertahankan hak-haknya hampir di seluruh daerah. Praktek Kekerasan secara brutal seolah-olah menjadi satu-satunya alat untuk menjalankan kebijakan pemerintahan. Praktek penggusuran warga etnis China Benteng, penggusiran pedagang kaki lima di seluruh pasar DKI hingga penggusuran makam Keramat Mbak Priok yang disertai dengan penangkapan, penahanan dan sampai penyitaan yang sewenang-wenang merupakan pelanggaran hukum. Penggusuran secara paksa terhadap makam Mbak Priok adalah bentuk arogansi kekuasaan (Pemprov) dan modal (Pelindo) dalam merusak budaya Islam yang seharusnya dipelihara oleh negara. Arogansi kekuasaan dengan kekerasan justru telah menjadikan budaya yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wajah Satpol PP yang penuh dengan kebrutalan dan banalisme ini merupakan cerminan dari karakter pemerintah yang selalu mengedepankan kekerasan dalam “menertibkan” rakyat. Potret ini memperlihatkan pada ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan adminitrasi yang akuntabel dan pengelolaan persoalan-persoalan perkotaan dan kemiskinan tanpa kekerasan. Pemerintah masih memandang kekumuhan dan kemiskinan musuh bersama yang harus diperangi dengan kekerasan, rakyat miskin sebagai warga “liar” yang mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Rakyat miskin masih dianggap penyakit masyarakat. Oleh karena itu rakyat miskin mesti disingkirkan dari kota.

Penyingkiran terhadap rakyat miskin ternyata telah menjadi lahan subur praktek korupsi, pemerasan dan bisnis atau komoditas kemiskinan di lingkungan pemprov. Rakyat miskin menjadi obyek ekonomis yang dipelihara kemiskinannya, dianggarkan status miskinnya, dan ditangkap kemudian diperas harta dan kehidupannya dengan ukuran ekonomis atau uang secara berulang-ulang sehingga menjadi komoditas yang menguntungkan. Terlebih kemiskinan telah menjadi proyek besar Pemda dengan anggaran besar pula.

Terus maraknya praktek kekerasan oleh aparat penegak hukum merupakan bukti dari kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk pemenuhan dan penegakkan HAM. Penghormatan terhadap HAM hanya bersifat normative, hanya pengakuan terhadap tata nilai HAM, sedangkan implementasinya pemerintahan selalu absen. Kini, Praktek Banalisme seperti ini justru telah menghancurkan citra pemerintahan yang kian terpuruk dalam memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap warga. Pendekatan hukum dengan kekerasan justru telah menjadi preseden buruk terhadap penegakkan hukum dan hak asasi manusia.

Oleh karena itu, Kami dari Petisi 28 menuntut :
1. Bubarkan Satpol PP yang telah menjadi alat kekerasan negara dalam menjalankan tugasnya.
2. SBY- Boediono harus bertanggungjawab terhadap praktek-praktek kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum diseluruh daerah.
3. Gubernur, Wakil Gubernur DKI Jakarta ( Fauzi Bowo dan Prijanto) dan Kepala Satpol PP (Harianto Bajuri) untuk mundur dari jabatannya karena telah gagal memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap rakyat dengan melakukan pembiaran kekerasan terhadap rakyat.
4. Walikota Jakarta Utara untuk mundur karena telah bersekutu dengan kekuatan modal untuk melakukan penggusuran terhadap makam Mbak Priok dan kekerasan terhadap rakyat.
5. Periksa, adili dan tangkap Dirut Pelindo beserta jajarannya karena telah melakukan dugaan scenario penggusuran disertai dengan kekerasan terhadap rakyat.


Jakarta, 15 April 2010
Hormat Kami,

Petisi 28

Facebook : petisi dua delapan
Twitter : petisi 28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar