Senin, 13 Desember 2010

LAWAN KENAIKAN HARGA BBM, TOLAK PENGALIHAN PREMIUM KE PERTAMAX

Sikap politik tentang Pelarangan penggunaan BBM bersubsidi untuk rakyat


Rencana pemerintah SBY mengalihkan penggunaan BBM permium dengan pertamax pada awal 2011 jelas adalah strategi untuk menaikkan harga BBM. Adapun harga premium saat ini sebesar Rp. 4500 sedangkan harga Pertamax sebesar Rp. 6900. Itu berarti pemerintahan SBY hendak menaikkan harga BBM yang menjadi kebutuhan dasar rakyat sebesar 51 %. Itu juga berarti bahwa selama masa pemerintahannya SBY telah menaikkan harga premium sebesar 283 % (2004 -2010).

Kebijakan ini adalah bagian dari konsep liberalisasi energi mulai dari hulu (eksplorasi & eksploitasi migas) hingga hilir (distribusi dan perdagangan migas). Kebijakan ini akan semakin mendorong dominasi modal asing di sektor hilir/perdagangan BBM. Selama ini Pom Pom bensin milik Shell, Chevron, Exxon, Total, BP, Petronas, sulit bersaing dan bahkan terancam tutup dengan tingkat harga premium Pertamina. Kebijakan SBY mengalihkan premium ke pertamax sebenarnya adalah dukungan langsung terhadap perusahaan-perusahaan asing dalam rangka menggantikan peran pertamina dalam perdagangan ritel BBM. Kebijakan SBY akan semakin melengkapi penguasaan modal asing di sektor energi secara keseluruhan baik di hulu maupu di hilir. Saat ini di sektor hulu 85 % kekayaan minyak Indonesia dikuasai modal asing.

Kebijakan menaikkan harga energi merupakan bagian dari komitmen SBY terhadap tuan-tuan modal internasionalnya dalam hal ini Amerika Serikat (AS), IMF dan World Bank. Salah satu rekomendasi pertemuan G-20 Korea November 2010 lalu (pertemuan negara dengan 85 % PDB global) adalah mendorong anggota G20 untuk mencabut subsidi BBM sebagai bagian dari strategi mengatasi climate change dengan mengurangi penggunaan energi. Sikap penurut SBY dimotifasi oleh harapan memperoleh bantuan utang dari negara maju dan lembaga keuangan internasional untuk mengisi kantong APBN. Sementara APBN sendiri semakin tidak efisien karena tergerus oleh korupsi yang dilakukan jajaran pemerintahan SBY.

Kebijakan mencabut subsidi BBM merupakan strategi memposisikan APBN mengabdi sepenuhnya pada kepentingan nekolim. Bayangkan jumlah kewajiban membayar utang pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah dalam APBN mencapai Rp 97 trilun (2010), bunga hutang dalam negeri pemerintah sebesar Rp 77,43 trilun (juga mayoritas diterima asing). Jumlah pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang DN dan LN pemerintah mencapai Rp 174,43 triliun. Nilai tersebut melebihi seluruh penerimaan sumber daya alam hasil tambang, migas dan ekploitasi SDA lainnya yang hanya sebesar Rp 111,45 triliun (data pokok APBN 2010). Fakta tersebut berarti asing mendapatkan semua manfaat dari ekploitasi kekayaan alam negeri ini, dapat hasil keruk dan mendapatkan kembali nilai bagi hasil dan royalti yang diserahkan sebelumnya kepada negara melalui bunga utang.

Kebijakan mengalihakan premium ke pertamax merupakan bagian dari strategi untuk mengancurkan usaha-usaha yang dikerjakan oleh rakyat dan menggantikannnya dengan usaha-usaha pihak asing sampai ke tingkat perdagangan eceran. Saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal (75 %). Sebagian besar masyarakat menggunakan transportasi pribadi, sepeda motor, mobil pribadi, untuk kebutuhan usaha. Hal ini terjadi karena kegagalan pemerintah membangun sarana transportasi massal dan murah. Sehingga kebijakan menaikkan harga BBM akan meningkatkan ongkos produksi usaha-usaha rakyat tersebut yang dapat berimplikasi semakin hancurnya usaha-usaha rakyat tersebut.

Kebijakan menaikkan harga BBM melalui pengalihan premium ke Pertamax menunjukkan bahwa pemerintahan SBY adalah agen nekolim dan harus mundur atas pelanggaran terhadap pancasila dan UUD 1945. ***

Pajak Rakyat Miskin VS Baiout, Subsidi dan Pengemplangan Pajak oleh Perusahaan Besar dan Korupsi para Pejabat Negara

PEMERINTAH SBY menampakkan dirinya sebagai pemerintahan yang tidak punya rasa malu. Ditengah tontonan korupsi pajak triliunan rupiah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan orang-orang kaya di Republik ini, pada saat yang sama pemerintah hendak memungut pajak dari orang-orang miskin, rumah-rumah makan skala kecil, warung tegal dan sejenisnya.

Tidak tanggung-tanggung pemerintah akan memungut pajak 10 persen (sebesar Rp 1000 untuk setiap belanja Rp. 10.000) dari rumah makan kecil tempat rakyat bertahan hidup dalam tekanan krisis, kemiskinan, pengangguran dan PHK. Nilai sebesar itu setara dengan seluruh keuntungan yang mungkin diraih oleh seluruh warteg-warteg. Itu berarti jerih payah dan keringat rakyat yang tertatih-tatih hendak disedot juga oleh penguasa negeri ini.

Padahal usaha-usaha rakyat tersebut setiap hari berada dibawah tekanan dan ancaman penggusuran dari pemerintah sendiri. Dalam rekaman publik, pemerintah SBY dan pemerintah DKI Jakarta dan juga pemerintah kota-kota besar lainnya di indonesia adalah pihak yang sangat agresif menggusur PKL, Warteg dll.

Kebijakan pemerintah SBY, Foke, kali ini semakin menunjukkan wataknya sebagai rezim yang anti rakyat. Selama ini pemerintah menekan kehidupan rakyat dengan berbagai pajak dan pungutan yang memberatkan yang menjadi sumber hancurnya usaha-usaha kecil. Satu sisi pemerintah menaikan cukai dan berbagai jenis pajak dan pungutan kepada rakyat, sementara pada sisi membebaskan pajak bagi perusahaan-perusahaan besar khususnya asing yang merampok sumber daya alam Indonesia.

Jika kita lihat komposisi penerimaan negara sebagaimana yang tercermin dalam APBN sebagian besar sumber penerimaan pemerintah berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat indonesia. Sebanyak 37,66 persen atau sekitar Rp 319.610 trilun berasal dari PPh, sebanyak 27,53 persen atau sebesar Rp 233.649 berasal dari PPN, sebayak 6,4 persen atau sebesar Rp 54,4 trilun berasal dari cukai. Sedangkan penerimaan sumber daya alam dari minyak bumi hanya 7,35 persen atau sebesar Rp 62,352 triliun, sebanyak 3,49 persen atau Rp 29,647 dari penerimaan ekploitasi gas. Secara keseluruhan penerimaan sumber daya alam hanya sebebsar 12,22 persen atau sebesar Rp 103,693 triliun (Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tahun 2009).

Padahal pemerintah telah memberikan fasilitas yang luar biasa besarnya terhadap pengusaha besar. Pengusaha asing boleh menguasai tanah dalam jangka waktu 95 tahun dalam skala yang sangat luas dan tidak ada batasannya. Pemerintah juga memberikan fasilitas keringanan pajak dalam berbagai bentuk seperti tax holiday, dan berbagai kemudahan dibidang perijinan dan lain sebagainya. Sementara pada saat yang sama usaha-usaha yang dikerjakan oleh rakyat setiap hari berada dibawah ancaman perampasan tanah dan penggusuran.

Selain itu pemerintah memberikan banyak sekali dukungan finansial kepada perusahaan besar khususnya perusahaan asing melalui stimulus fiskal atau sejenis pajak yang ditanggung oleh pemerintah dan tidak perlu dibayarkan oleh pengusaha. Pemerintah juga memberikan kemudahan kepada pengusaha besar dalam memperoleh fasilitas kredit, dana liquiditas bagi perbankkan yang bangkrut. Ketika-usaha-usaha besar itu bangkrut baik karena korupsi maupun karena manajemen yang buruk, pemerintah yang menanggung seluruh utang-utang mereka. Kasus bailout Bank Century menunjukkan betapa pemerintah dan pengusaha secara bersama-sama melakukan kejahatan ekonomi dengan merampok uang rakyat.

ATAS DASAR hal di atas, kami menyatakan menolak tindakan pemerintah memeras rakyat kecil dan menuntut pengusutan tuntas korupsi dugaan pajak yang dilakukan oleh Newmont, Freeport, Chevron, Group Bakri, Bank Century, dan korupsi perusahaan besar lainnya yang mengeruk kekayaan alam Indonesia. Kami mendesak presiden SBY mundur karena tidak mampu memberantas korupsi, membiarkan kekayaan alam indonesia dirampok perusahaan asing dan bahkan telah menjadi bagian dari seluruh masalah korupsi di Republik ini.

Jakarta, 4 Desember 2010

Salamuddin Daeng
Juru Bicara Petisi 28/ Hp : 081805264989

KONSTITUSIONALITAS PENDAPAT PUBLIK tentang PENGGULINGAN SBY

Beberapa hari belakangan ini, kata “penggulingan” lebih sering terdengar dari biasanya, entah dari para pengkritik Presiden SBY atau dari politisi, baik yang oposan maupun yang sebiduk dengan Presiden SBY. Rupanya keadaan politik aktual memancing reaksi yang sedemikian dahsyat sehingga kata tersebut lebih sering muncul dari biasanya. Pendapat ini bukannya muncul tanpa alasan, selain karena momentum 1 tahun pelantikan Presiden SBY, pendapat ini muncul karena fakta menyeruak tentang kegagalan Presiden SBY dalam menjalankan amanahnya sebagai Presiden.
Kata “konstitusionalitas” adalah antonim dari kata “inskonstitusionalitas” yang menyatakan sebuah keadaan yang sesuai dengan norma yang termaktub dalam konstitusi. Beberapa tokoh publik ramai-ramai memberikan pendapat bahwa pendapat (publik) yang menyatakan Presiden SBY layak digulingkan adalah inkonstitusional perlu dikaji secara komparatif, terutama dengan perilaku SBY sebagai Presiden RI. Wacana penggulingan SBY sendiri telah menjelma menjadi entitas publik yang dapat memiliki sebuah implikasi konstitusional (dan juga implikasi inkonstitusional), tergantung dari bagaimana pendapat itu akan disalurkan. Bahwa SBY adalah Presiden sah yang dihasilkan melalui pemilu adalah benar, namun di sisi lain berpendapat tentang sesuatu adalah hak yang dilindungi oleh konstitusi, juga benar adanya.
Konstitusi kita mengatur bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945), dimana UUD mengamanatkan diadakannya sebuah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sendiri adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945). Kemudian UUD 1945 juga mengatur jika Presiden dapat diberhentikan dengan syarat-syarat tertentu (Pasal 7B UUD 1945). Lalu bagaimana jika Presiden telah terpilih secara sah melalui pemilu, tetapi melakukan pembangkangan terhadap putusan lembaga Negara (DPR dan MK)? Atau jika kebijakan Presiden tidak berpedoman kepada UUD 1945? Atau jika Presiden terpilih mendapat penolakan secara masif di publik, meski kekuatan eksekutif dan legislatif berkongkalikong mempertahankannya, dan kemudian dianggap tindakan inkonstitusional?
Menyoal tentang pembangkangan terhadap putusan lembaga Negara, Presiden SBY setidaknya telah 2 kali melakukan hal tersebut. Pertama, adalah sesaat setelah keputusan Sidang Paripurna DPR yang menyatakan proses bailout Bank Century menyimpang, namun Presiden mengatakan bahwa kebijakan bailout Bank Century adalah tidak melanggar hukum. Kedua, mengenai Putusan MK yang menyatakan jabatan Hendarman Supandji adalah ilegal pasca dibacakannya putusan tersebut. Terhadap Putusan MK ini Presiden melalui Sekretariat Negara dan Staf Khusus bersikukuh masih menyatakan Hendarman sah sebagai Jaksa Agung (sebelum akhirnya mendapat tekanan publik). Dari 2 contoh diatas, sebenarnya Presiden telah layak dikualifikasi melakukan Pelanggaran Sumpah dan Janji sebagai Presiden sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 9 ayat 1 UUD 1945, dimana Sumpah dan janji Presiden adalah untuk memegang teguh UUD, yang juga mengandung arti mentaati seluruh keputusan lembaga Negara (termasuk DPR dan MK) yang lahir dan diberikan kewenangan oleh UUD 1945. Terhadap perbuatan ini, sebenarnya Presiden SBY telah melanggar Pasal 7A UUD 1945, sehingga layak diusulkan untuk diberhentikan. Tapi apalah daya, ternyata kekuatan DPR/legislatif ternyata tidak cukup berani menyatakan hal tersebut sebagai pelanggaran konstitusi/inkonstitusionalitas Presiden SBY.
Menyoal tentang kebijakan Presiden yang tidak berpedoman kepada UUD 1945, setidaknya terindikasi dalam pembentukan lembaga antah-berantah yang bernama Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) melalui Keppres Nomor 37 Tahun 2009. Selain tidak ada dalam struktur ketatanegaraan, lembaga ini juga rawan politisasi karena hanya menjadi lembaga citra Presiden SBY yang seolah-olah telah memberantas korupsi, dan sangat subyektif dalam memilih kasus yang akan diangkat karena Satgas PMH bertanggungjawab kepada Presiden melalui UKP4. Dalam sepak terjangnya Satgas juga telah melakukan diskriminasi dengan tidak menyentuh sama sekali dugaan pelanggaran hukum yang bersifat mafia yang melibatkan Presiden, Istana dan kroni-kroninya. Bahkan yang lebih parah, Satgas PMH juga gagal mengungkap alasan utama pembentukannya, yaitu Kriminalisasi KPK. Jadi dapat disimpulkan Presiden SBY telah melakukan pelanggaran UUD 1945 Pasal 17 Tentang Kementerian Negara, dimana untuk melaksanakan kewenangannya Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara. Pembentukan Satgas PMH melalui Keppres adalah bentuk inkonstitusionalitas nyata yang dilakukan Presiden SBY.
Selain inkonstitusionalitas diatas, Presiden SBY juga melakukan perbuatan tercela dengan memberikan Grasi kepada terpidana koruptor yang telah divonis pengadilan. Perbuatan tersebut memang konstitusional (karena sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat 1), namun masuk dalam kualifikasi tercela karena Presiden telah melakukan perbuatan sewenang-sewenang dengan menggunakan kekuasaannya untuk memberikan Grasi kepada orang yang tidak tepat. Bahkan atas perbuatan ini Presiden SBY layak mendapat julukan pro koruptor dan kontra terhadap pemberantasan korupsi. Atas perbuatan tercela tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 7A UUD 1945, Presiden SBY sebenarnya juga layak untuk diusulkan diberhentikan. Namun apa mau dikata, lagi-lagi kartel eksekutif dan legislatif bersatu erat dalam satu kekuatan memicingkan mata atas fakta ini.
Atas keadaan diatas wajar jika kemudian muncul sebuah rasa ketidakpercayaan mendalam dan meluas yang dialami oleh rakyat Indonesia. Ketidakpercayaan itu kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan masif yang menilai Presiden SBY gagal memimpin dan layak untuk diganti (baca: digulingkan). Namun apa hendak dikata, jalan konstitusional telah ditutup rapat oleh DPR yang berdagang sapi dengan Pemerintah untuk menutup semua peluang pemakzulan, sehingga rasa ketidakpuasan ini muncul dalam banyak momentum dan di berbagai media sosial yang intinya menyatakan kekecewaan terhadap pemerintahan Presiden SBY.
Pendapat untuk menggulingkan kemudian dicap sebagai gerakan inkonstitusional karena dianggap melanggar konstitusi (UUD 1945). Anehnya dugaan ini justru berkebalikan dengan amanah UUD Pasal 28E ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Jadi atas pendapat publik yang menyatakan bahwa Presiden SBY layak digulingkan dikualifikasi sebagai langkah inkonstitusional oleh beberapa pihak, justru harus kita pertanyakan konstitusionalitasnya. Kemudian atas langkah tersebut, perlu kita kaji secara komparatif terhadap langkah-langkah Presiden SBY yang justru inkonstitusional seperti yang sudah tersebut diatas. Jadi siapa sebenarnya yang inkonstitusional?
Atas rumitnya keadaan diatas sebenarnya ada sebuah exit emergency yang konstitusional (karena diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat 1 UUD 1945) dan konvensi ketatanegaraan yang terlah dicontohkan oleh Presiden Soeharto, yaitu dengan cara menyatakan berhenti. Mengapa jalan ini penting untuk dipilih? Pertama, bahwa langkah ini merupakan langkah preventif untuk mencegah agar kekecewaan rakyat tidak berubah menjadi gerakan yang destruktif seperti kejadian tahun 1998,1965, dan 1974; Kedua, langkah ini elegan, tidak mencederai demokrasi dan bersifat konstitusional; dan ketiga, agar agenda penyelamatan bangsa dari keterpurukan tidak terhambat oleh sifat ego mempertahankan kedudukan secara membabi buta, baik yang dilakukan Presiden sendiri maupun para penjilatnya.


Ahmad Suryono
Tim Hukum Petisi 28
ahmad.suryono@gmail.com (0812 2510 3500)

Senin, 30 Agustus 2010

MENCABUT AKAR KOLONIALISME

Salamuddin Daeng/
Peneliti Institute for Global Justice- IGJ / jubir petisi 28

Melihat kondisi karut marut ekonomi Indonesia saat ini, dikalangan rakyat berkembang pertanyaan apakah negara dalam arti sesungguhnya telah merdeka atau tidak ?. Untuk menjawab teka teki ini maka cara sederhana adalah dengan mengingat kembali kolonialisme baik teori dan prakteknya.
Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya. Kegiatan ini dimulai dengan konsolidasi dan penguasaan teritorial, diikuti dengan membentuk pemerintahan dan UU dan ditindaklanjuti dengan ekploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia sekaligus secara ekstrim. Diatas definisi inilah kita akan menjawab apakah Indonesia telah merdeka atau belum, dan cara mendirikan kembali Indonesia merdeka.
Bagaimana sesungguhnya kekuasaan pihak asing terhadap territorial Indonesia? Mari kita ambil salah-satu contoh penguasaan teritorial sebuah perusahaan tambang terkaya di dunia yaitu PT Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) di salah satu daerah di Indonesia. Dalam dokumen Kontrak Karya (KK) antara PT NNT dengan pemerintah Indonesia tahun 1986 disebutkan bahwa luas kontrak karya PT NNT adalah 1,127 juta hektar yang meliputi wilayah Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sementara luas wilayah Pulau Sumbawa adalah 1,438 juta hektar dan luas Pulau Lombok seluas 543 ribu hektar. Ini berarti bahwa luas kontrak karya Newmont setara dengan 57 % luas daratan NTB.
Di Indonesia luas konsesi yang diberikan negara kepada modal besar dalam bentuk kontrak karya pertambangan, kontrak production sharing migas, kontrak kerja batubara, HGU perkebunan, HPH kehutanan mencapai 175 juta hektar. Jumlah tersebut telah setara dengan 93 % luas daratan Indonesia. Sebagian besar konsesi dikuasai oleh modal asing. Kekuasaan modal besar dan negara-negara maju atas tanah di Indonesia lebih luas dibandingkan apa yang terjadi sepanjang masa Kolonial Belanda.
Demikian halnya dengan Investasi luar negeri yang masuk ke Indonesia saat ini tampaknya mengambil bentuk investasi kolonial. Investasi semacam ini dikerahkan oleh negara-negara maju dalam upaya pencarian sumber daya alam atau bahan mentah. Sangat jarang bahkan tidak pernah investasi luar negeri dilakukan untuk membangun industri. Investasi luar negeri menjadi bagian dari ekonomi negara asal modal. Hal ini menjadi ciri utama investasi AS, Jepang dan negara-negara Eropa hingga saat ini.
Perhatikan sebagian besar kegiatan eksploitasi migas dikuasasi modal asing, 85 persen gas diekspor. Seluruh kekayaan mineral dikontrol asing, 75 persen batubara diekspor, sebagian besar hasil perkebunan dialokasikan untuk pasar ekspor. Padahal didalam negeri terjadi kelangkaan sumber-sumber primer yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasional dan keperluan rakyat.
Wajar kemudian tidak ada keterkaitan antara investasi luar negeri dengan kesejahteraan rakyat. Pangalaman sejarah investasi luar negeri sector swasta dapat kita lihat dalam periode sejak tahun 1860 -1970. Pada masa itu, modal swasta luar negeri mendapatkan tempat yang penting dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Modal luar negeri ini terutama ditanamkan dalam perusahaan yang bekerja untuk ekspor dan juga dalam beberapa perusahaan yang berhubungan dengan ekspor seperti bank-bank, jalan-jalan, kereta api, pelayaran besar interinsulair, dan perusahaan gas listrik. Berhubungan dengan banyaknya penanaman modal luar negeri maka Indonesia termasuk ke dalam negara-negara debitur terbesar.
Dalam tahun 1938 Indonesia mengalami keadaan yang sama dengan yang dialami India, dan negara-negara besar Asia lainnya, serta Australia dan Argentina. Modal luar negeri yang ditanam di Indonesia lebih besar daripada Tiongkok, negara yang jauh lebih besar dan mempunyai penduduk lebih banyak. Besarnya modal luar negeri yang ditanam di Indonesia pada masa sebelum perang, ditaksir mencapai angka 5,2 milliard gulden dengan rincian 4 milliar ditanamkan pada perusahaan partikulir dan 1,2 milliar gulden terdiri dari utang pemerintah. Dimasa ini perhitungan investasi luar negeri dan utang luar negeri digabungkan. (Prajudi, 1970 : 142).
Jumlah investasi luar negeri pada masa sekarang jauh lebih besar, tidak hanya rempah-rempah, perkebunan, akan tetapi meliputi pertambangan, kehutanan dan perikanan. Tiga sector terakhir tidak banyak dikerjakan di masa kolonial Belanda. Selain itu modal luar negeri tidak hanya masuk dalam bentuk investasi, akan tetapi juga melalui utang luar negeri yang jumlahnya juga sangat besar. Saat ini posisi utang luar negeri pemerintah dan swasta sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar US$ 172.871 juta (Bank Indonesia, 2010).
Namun apa yang dperoleh bangsa ini dari modal luar negeri ?. Jumlah yang harus dibayarkan ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Untuk membayar bunga utang dan cicilan pokok utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai US$ 41.380 juta pertahun. Ditambah dengan cicilan pokok utang dalam negeri pemerintah Rp 39.210 miliar (2008) dan bunga utang dalam negeri pemerintah sebesar Rp 70.857 miliar. Jumlah keseluruhan pembayaran hutang dan cicilan hutang pokok pemerintah dan swasta sebesar Rp. 482.487 miliar.
Bandingkan dengan kenaikan PDB berdasarkan harga konstan dalam tahun 2008-2009 yang nilainya hanya sebesar Rp 94.872 miliar. Peningkatan PDB yang merupakan hasil dari seluruh aktifitas ekonomi negara ini bahkan tidak cukup untuk membayar bunga hutang dan cicilan pokok.
Sementara itu, utang luar negeri Indonesia tidak hanya meninggalkan beban dari sisi nominal utang, akan tetapi implikasi ekonomi politiknya yang besar. Utang luar negeri umumnya dikerahkan untuk mengubah kebijakan ekonomi politik Indonesia agar menguntungkan korporasi multinasional dan negara-negara maju. Sebagai contoh penting adalah Undang Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). UU ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi UUD 1945 dikarenakan asas perlakuan yang sama yakni most favoured nation (MFN) dan National treatment yang merupakan preambule WTO dipaksa masuk dalam UU ini secara subversif.
Seluruh UU Indonesia yang berkaitan dengan keuangan, investasi, perdagangan, dan bahkan perlindungan sosial yang lahir sejak era reformasi sepenuhnya dibiayai oleh lembaga keuangan multilateral IMF, WB dan ADB. Ini berati bahwa penyelenggaran negara dan pemerintahan sepenuhnya dibawah kontrol asing dan menggunakan cara yang sama dengan kolonialisme.
Selain itu, subversi terhadap konstitusi tidak hanya dilakukan dengan cara meniru/mengadovsi prinsip yang disepakati dalam perjanjian international akan tetapi juga melalui proses ratifikasi. Sebagai contoh diratifikasinya ASEAN CHARTER melalui UU 38 Tahun 2008 tentang pengesahan Piagam ASEAN. Dalam pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa tujuan ASEAN adalah “menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus lalu-lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh dan arus modal yang bebas. Piagam berisikan dasar-dasar bagi pembentukan kawasan perdagangan bebas internal ASEAN dan dasar bagi perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) antara ASEAN dengan negara kawasan lainnya. Hak ekslusif kepada ASEAN dalam menyepakati perjanjian iternational mengkudeta konstitusi, parlemen dan hak demokrasi rakyat.
Melalui kedua cara itulah konstitusi dasar Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi pondamen kehidupan berbangsa bernegara dihancurleburkan. Asas-asasnya yang membentuk hubungan sosial, ekonomi, politik bangsa indonesia digantikan dengan paham-paham asing. Kekeluargaan digantikan dengan individualisme, kerjasama diubah menjadi kompetisi/persaingan yang saling mematikan, musyawarah mufakat diubah menjadi demokrasi mayoritas berkuasa atas minoritas.
Benar apa yang disampaikan presiden SBY dalam Pidato 17 Agustus 2010 yang mengatakan “Dalam sepuluh tahun pertama reformasi itu, kita telah melangkah jauh dalam melakukan transisi demokrasi, kita telah membongkar dan membangun, kita telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap tatanan dasar dalam kehidupan politik, sosial, hukum, dan ekonomi”.
Sebuah pengakuan terbuka dari Presiden Republik Indonesia dalam menghilangkan apa yang disebut SBY sebagai... de-bottlenecking atas peraturan perundangan yang menghambat imperialisme dan tidak mengejutkan bila ada yang mengatakan bahwa “ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau the quiet revolution..., dan segala upaya percepatan, debottlenecking ini akan sia-sia kalau kita tidak melakukan perubahan yang paling hakiki, perubahan cara-pandang”. Sebuah cara pandang baru tengah ditularkan yaitu kapitalisme neoliberalisme.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa negara Indonesia memang belum merdeka dalam pengertian yang sepenuhnya. Problem utamanya adalah tidak hanya karena semakin ganasnya kolonialisme dan imperialism (Nekolom) akan tetapi penyelewengan elite kekuasaan terhadap amanat penderitaan rakyat.
Kemerdekaan yang sesungguhnya mensyaratkan kita untuk mencabut kolonialisme sampai ke akar-akarnya. Itu berarti segala bentuk investasi kolonial, utang luar negeri yang imperialistik, adopsi dan ratifikasi peraturan dan hukum kaum imperialis harus dihentikan.
Tegasnya kemerdekaan itu adalah pelaksanaan atas mandate Sumpah Pemuda, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, asas Pancasila, dan tujuan bernegara sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945. Hanya dengan jalan demikian maka kita bangsa Indonesia benar–benar memiliki jembatan emas untuk mencapai kesejahteraan hidup seluruh rakyat, bukan jembatan lapuk warisan Kolonial.

Minggu, 22 Agustus 2010

MENDIRIKAN INDONESIA MERDEKA

Salamudin Daeng
Peneliti Institute Global Justice

Setiap bangsa membutuhkan waktu yang lama untuk dapat berdiri kokoh, AS membutuhkan waktu sedikitnya 70 tahun untuk menkonsolidasikan dirinya menjadi imperialis yang kuat. China yang selama ber abad-abad jatuh bangun dalam perang saudara, pemberontakan dan agresi bangsa lain, yang menjadikannya tumbuh sebagai bangsa yang merdeka dan besar besar seperti sekarang ini.

Bangsa Indonesia juga demikian, proses membangun bangsa ini telah lebih dari 100 tahun. Boedi Utomo1908, Sumpah Pemuda1928, Proklamasi kemerdekaan 1945, kudeta kontroversial 1965, penggulingan otoritarianisme 1998, adalah serangkain peristiwa penting yang menetukan jalannya sejarah Republik Indonesia menuju bangsa yang besar.

Pengalaman Indonesia selama 350 tahun dalam tekanan kolonialisme, tentu memberi pelajaran yang berharga. Proses menuju kemerdekaan yang memakan korban jutaan jiwa adalah pengalaman yang tak mungkin terlupakan. Proses ini tidak akan berhenti, karena kemerdekaan adalah jembatan emas. Tidak peduli meskipun akan memakan banyak korban lagi.

Tidak ada yang lebih besar dari tugas meraih kemerdekaan, tidak ada pekerjaan yang lebih sulit dari membebaskan diri dari tekanan imperialisme, yang menjadi hukum sejarah manusia.Tidak semua orang suka dengan jalan sejarah yang sulit, tidak semua orang mau terlibat dalam perlawanan yang melelahkan.

Sebagian besar orang ingin damai, hidup tenang, tanpa konflik dan pertikaian, baik secara internal maupun terhadap pihak asing. Namun tidaklah demikian fakta sejarah. Suka atau tidak suka hidup adalah persaingan dan pertarungan. Jika tidak menyerang, maka patilah akan diserang. Jika tidak melawan pastilah akan tenggelam dalam lumpur pekat penindasan selama-lamanya.

Untuk dapat bertahan suatu bangsa harus membangun benteng yang kokoh, memperkuat palsafah hidup, mengkonsolidasikan segenap kekuatan internal dan unifikasi teritorialnya, membentuk negara diatas konstitusinya yang tangguh. Dengan cara demikian ia akan selamat gejolak dari dalam dan tekanan apapun yang datang dari luar.

Pengalaman bangsa-bangsa di Asia Tengah dapat menjadi contoh penting, betapa sulitnya mereka mempertahankan eksistensinya dari invasi imperialistik kapitalisme. Negara-negara Arab berada dibawah tekanan yang hebat hingga hari ini. Palestina terancam lenyap sebagai sebuah bangsa, Irak telah dibubarkan dengan paksa melalui agresi sekutu, Iran hendak dilenyapkan melalui propaganda hipokrit AS.

Demikian pula pengalam bangsa-bangsa di Afrika yang dimusanakan perlahan-lahan oleh perang saidara, penyakit dan kelaparan yang kesemuanya merupakan tanda sejarah bahwa untuk bertahan hidup maka suatu bangsa harus memperkuat diri dalam menghadapi ganasnya gelombang pertarungan. Jika tidak maka ia akan musnah.

Soekarno menggambarkan bahwa ganasnya gelombang sejarah adalah medan pertarungan menjadi bangsa yang besar. Ia mengatakan bahwa bangsa yang besar dikahirkan oleh dinamika politik yang hebat demikian pula sebaliknya bangsa yang kerdil dilahirkan oleh situasi yang serba nyaman dan adem ayem. Bung Karno mengibaratkan situsi adem ayem ini hanya ada di negerinya “bathara guru” suatu tempat yang hanya ada dalam imajinasi para pemimpi.

Pendiri bangsa menyadari benar bahwa masalah Indonesia tidak akan berhenti setelah proklamasi kemerdekaan. Imperialisme akan kembali dan telah kembali dengan segala macam cara untuk menguasasi negeri ini. Itulah mengapa berkali-kali dalam sebagian besar pidatonya Bung Karno mengatakan wasapada nekolim..sekali lagi waspada nekolim. Itulah mengapa api harus dinyalakan dan semangat perlawanan harus tetap dikobarkan.

Jangan Sampai Bubar

“Media massa yang menggambarkan bahwa seoala-olah negara ini mau bubar”. demikian keluhan SBY menanggapi pemberitaan berbagi media massa dalam beberapa waktu terakhir.

Apa yang menjadi kekuatiran media massa nasional patut di apresiasi, karena memang demikianlah kondisi obyektifnya. Meskipun oleh pemerintahan SBY keadaan tersebut tidak terlihat dikarenakan berbagai keterbatasan pengetahuannya. Itu juga wajar karena SBY juga manusia.

Namun perlu dijelasakn lebih lanjut oleh media massa bahwa negara kesutuan republik Indonesia terancam lenyap eksistensinya secara politik ekonomi dan kebudayaan. Bangsa ini semakin kehilangan supremasinya mengatur dirinya sendiri, kehilangan hak atas kekayaannnya sendiri, dan semakin jauh dari jati dirinya dan terjebak meniru-niru adapt bangsa lain secara membabi buta. Indonesia terancam bubar dalam usianya yang relative muda, 65 tahun.

Seluruh UU dan kebijakan yang lahir di negeri ini dibuat oleh pihak asing. Proses ini berlangsung melalui dua cara yaitu ratifikasi terhadap hasil perundingan dan perjanjian internasional dan diadipsinya berbagai hasil perjanjian tersebut dalam hukum positif nasional secara subversive.

Tanah, kekayaan alam, telah sepenuhnya dibawah control modal asing, lebih dari 175 juta hektar lahan dikuasai oleh penanaman modal besar, dan sebagian besar adalah modal asing. Sebanyak 85 persen kekayaan migas dikuasai asing, 75 persen kekayaan batubara dan perkebunan dikuasasi asing, 100 persen hasil tambang dikontrol modal asing, 60-70 persen kekayaan perbankkan dikuasasi asing. Apa yang didapat oleh bangsa Indonesia hanyalah beban utang yang mencapai 1600 trilun dan kerusakan lingkungan yang secara perlahan-lahan memusnahkan kehidupan di negeri ini.

Diatas dominasi dan ekploitasi bangsa lain, elite politik Indonesia semaki kehilangan kepercayaan diri alias minder. Mereka terjebak dalam pragmatisme, tidak dapat mengeli masalahnya dan menemukan orientasi kebangsaannya. Seperti orang mabuk limbung dalam badai globalisasi.

Meski kondisi bangsa telah sampai pada tingkat yang menghawatirkan, seluruh anggota parlemen dan mereka yang ada dalam birokrasi kekuasaan saat ini jika ditantang melakukan tidakan-tindakan radikal dalam menyelamatkan Indonesia dari ancaman bubar, selalu mengeluarkanstatemen keputusasaan. Tidak tahu, tidak sanggup, kalah. Lalu tanggung jawab ini mau diserahkan pada siapa? Dan mengapa mereka masih disana dan tidak mundur?

Pemuda Ambil Alih

Satu hal yang sangat terasa dalam seluruh proses sejarah yang sebagian dilalui dengan berdarah-darah adalah semangat untuk mendirikan Indonesia yang bebas dari segala belenggu kolonialisme dan imperialisme.

Semangat itu yang tetap terpatri dalam jiwa pemuda-pemuda Indonesia yang selalu memaikan peran penting dalam seluruh proses medirikan negara ini.

Mengapa pemuda? Mengapa bukan kaum bangsawan atau klas menengah seperti Eropa, bukan klas pekerja seperti di Rusia? atau laskar kaum tani seperti dalam pengalaman sejarah bangkitnya China..?

Para pemuda Indonesia telah lahir sebagai suatu entitas sendiri sejak awalnya. Mereka adalah tentara dalam kekeluargaan yang merupakan struktur tertendah dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Keluarga inilah yang selalu berhadapan dengan tekanan, penindasan imperialisme, neoliberalisme dan otortarianisme. Dari keluargaan inilah lahir pemuda, yang setia menjaga keluarga dan negaranya dari segala ancaman penindasan.

Beban sejarah pemuda berubah dalam setiap jamannya. Tidak berkurang namun terus bertambah dari waktu ke waktu. Tugas mendirikan Indonesia merdeka diatas tiga pilar utama, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkerpibadian secara kebudayaan, adalah tugas terberat saat ini. Tugas ini tentu lebih berat dari apa yang pernah diemban oleh angkatan-angkatan sebelumnya. Mengapa demikian? Pemuda tidak hanya berhadapan dengan ganasnya nekolim tapi sekaligus busuknya politik internal.

Namun demikianlah adanya, seperti itulah aturan sejarah. Tugas pemuda hanyalah mengukuti jalannya sejarah. Kerana Indonesia yang merdeka tidaklah dididikan untuk satu hari lamanya atau untuk sewindu lamanya. Indonesia merdeka didirikan untuk selama-lamanya dan hanya pemuda Indonesia yang dapat mengemban tugas ini..!.

Jumat, 20 Agustus 2010

Rokok dan Industrialisasi Nasional

Salamudin Daeng
Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Perdebatan tentang rokok telah melibatkan polemik berkepanjangan dalam beberapa waktu belakangan. Berbagi pihak yang saling berbeda kepentingan mengeluarkan hasil temuan yang berbeda sudut pandang dalam melihat rokok dan segala implikasinya. Namun apapun argumentasi yang dikemukan polemik ini tetaplah merupakan suatu pertarungan dalam rangka perebutan sumber daya dan pasar.

Lalu bagaimanakah kita bangsa Indonesia melihat polemik ini? maka setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana kedudukan rokok terkait dengan industrialisasi nasional dan kedua, kedudukan dalam potret pertarungan perdagangan bebas yang semakin marak dalam beberapa waktu terakhir. Kedua hal tersebut penting dilihat oleh pemerintah dalam rangka merumuskan kebijakan yang tepat dalam memberikan perlakuan terhadap kegiatan perusahaan tembakau dan rokok dalam strategi pembangunan nasional, baik secara ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Sebelum membedah masalah ini lebih jauh maka ada baiknya kita melihat hal-hal umum yang dihadapi masayarakat dunia saat ini dan bagaimana kaitannya dengan masalah ekonomi politik yang dihadapi rakyat Indonesia.

Arah Perekonomian Dunia
Saat ini, kapitalisme dunia tengah mengalami krisis yang hebat yang menerpa negara-negara yang menjadi induk kapitalisme. Krisis yang pada awalnya melanda AS dan kemudian meluas melanda sekutu-sekutunya yang lain seperti Jepang dan terakhir Uni Eropa.

Krisis ini memiliki dampak yang besar bagi tatanan ekonomi global. Negara-negara yang mengalami krisis akan berusaha mencari sumber-sumber modal dan keuangan dalam rangka mengembalikan stabilitas ekonomi mereka.

Upaya untuk membentuk keseimbangan yang baru dalam perekonomian global akan melibatkan dua hal. Pertama, meningkatkan kontrol negara-negara maju akan sumber daya alam di seluruh penjuru dunia dan kedua, meningkatkan penguasaan atas pasar barang maupun jasa dalam rangka mencari sumber keuangan yang lebih banyak.
Dibentuknya G20 merupakan salah satu strategi dalam rangka penyelesaian krisis global. Forum ini merupakan perluasan dari G8, yang merupakan kelompok negara-negara Industri maju. Namun sekarang dipeluas keanggotaannya menjadi negara dengan PDB terbesar di dunia. Dalam Keanggotaan G20 masuklah Indonesia, India, China dan Brasil untuk mengambil bagian dalam rangka penyelesaian krisis.

Krisis kapitalisme akan menimbulkan tekanan ekonomi bagi Indonesia. Pertama, negara ini akan menjadi sasaran dalam rangka investasi dan penguasaan sumber daya alam oleh modal besar asing. Kedua, Indonesia akan menjadi sasaran ekspansi pasar produk pangan dan industri dari negara-negara maju.

Selain itu, pasca kebuntuan perundingan WTO (2009), Indonesia semakin aktif terlibat dalam berbagai perundingan perdagangan bebas melalui Free Trade Agreement (FTA). Negara ini telah menandatangani ASEAN Charter untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dan melakukan perdagangan bebas dengan negara-negara seperti China, India, Korea, berikutnya dengan Jepang, Uni Eropa (EU) dan Amerika Serikat (AS).

Celakanya adalah negara-negara yang menjadi pesaing dagang Indonesia tersebut adalah negara-negara yang sangat kuat baik dalam industri maupun pertaniannya. Terkait dengan tembakau misalnya, China adalah negara penghasil tembakau terbesar di dunia yang mencapai 38 persen total produksi dunia, India menduduki urutan ketiga menguasai 8,43 persen tembakau dunia dan AS urutan ke empat menguasai 5,73 persen. Sedangkan Indonesia hanya menghasilkan 2,67 persen tembakau dunia (FAO, 2007).
Akibatnya Indonesia menjadi sasaran impor berbagai kebutuhan, mulai dari besi, baja, oil product dan berbagai produk manufaktur yang bernilai tambah tinggi lainnya. Tidak hanya itu, akibat didesak pertambangan dan perkebunan skala besar sektor pertanian mengalami kemunduran. Krisis pangan memaksa Indonesia harus mengimpor pangan seperti beras, kedelai, daging, susu, gula dan bahkan impor garam.

Bahkan di tengah semakin intensifnya propaganda anti rokok di dalam negeri ternyata impor tembakau terus meningkat. Pada tahun 2003 impor tembakau sebanyak 29.579 ton, meningkat menjadi 35.171 pada tahun 2004 dan terus bertambah menjadi 48.142 ton pada tahun 2005. Tidak hanya itu, ternyata impor rokok ke Indonesia juga sangat besar yaitu mencapai 520.000 ton per tahun.

Anehnya, pada saat yang sama pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam negeri yang menekan petani tembakau dan produksi rokok melalui kebjakan menaikkan cukai dll., juga berbagai komitmen internasional seperti Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam bentuk pembatasan produksi. Kebjakan semacam ini bersifat diskriminatif, menekan industri dalam negeri satu sisi, tapi mendukung impor pada sisi yang lain.

Fenomena De-Industrialisasi
Dimana Indonesia dalam dinamika pertarungan negara-negara Industri dalam era globalisasi? Negara masih di tempat yang sama, menjadi wilayah tempat pertarungan memperebutkan sumber daya alam gas, batubara, minyak dan hasil kebun. Bahkan sekarang negara-negara industri menjadikan Indonesia sebagai tempat penting dalam mendukung kesejahteraan negara-negara utara yaitu sumber daya alam dan sekaligus pasar bagi produk olahan yang benilai tambah tinggi.

Berbagai UU telah dibuat di Indonesia dengan secara langsung diintervensi oleh lembaga keuangan multilateral, IMF, World bank dan ADB dan pinjaman langsung negara-negara maju melalui pinjaman luar negeri. Mulai dari amandemen UUD 1945 hingga UU sektoral lainnya, seperti migas, sumber daya air, UU penanaman modal dan lain sebagainya. Semuanya untuk satu kepentingan besar yaitu penyerahan kekayaan alam Indonesia kepada korporasi luar negeri untuk diusahakan dalam rangka memenuhi kebutuhan negara-negara maju.

Apa yang menjadi haluan kebijakan Indonesia, setidaknya selama era reformasi adalah suatu proyek dalam rangka penghancuran kekuatan produktif rakyat dan memperparah de-industrialisasi nasional. Akibatnya negera ini mengalami apa yang disebut de-industrialisasi negatif, sebuah gejala de-industrialisasi yang terus menerus sebelum dapat mencapai industrialisasi. (Prof. Ine Minara Ruki, 2007).

Sember daya alam bangsa ini habis diekspor, Indonesia menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Lebih dari 75 persen gas diekspor dalam rangka memenuhi kebutuhan energi negara-negara Industri maju. Sementara di dalam negeri berbagai industri mengalami kebangkrutan akibat tidak mendapat pasokan gas. Demikian pula dengan bahan tambang mineral dan hasil alam lainya diekspor dalam bentuk bahan mentah tanpa proses industrialisasi di dalam negeri.

Sementara Industri nasional yang mau tumbuh mengalami penghancuran secara perlahan-lahan melaui kebijakan yang didukung hutang luar negeri. Proyek liberalisasi pengelolaan migas yang dibiayai oleh Bank Dunia telah terbukti menghancurkan pertamina dan Industri migas nasional seperti yang kita saksikan sekarang ini. Hal yang sama menimpa usaha-usaha yang dikerjakan oleh badan usaha milik negara dari hulu sampai ke hilir perlahan-lahan, lahan dipecah-pecah, dilemahkan, tidak hanya melalui produk perundang-undangan akan tatapi juga melalui berbagai propaganda dan kampanye yang didanai dengan anggaran yang sangat besar. Ini sangat jelas terlihat di belakang seluruh proyek privatisasi PLN dan BUMN lainnya.
Tak terkecuali usaha-usaha yang dikerjakan oleh rakyat juga direcoki dengan berbagai isu dan kebijakan. Tampak motifasi utama dari semua kebijakan adalah agar usaha-usaha bangsa Indonesia tidak tumbuh menjadi usaha yang terintegrasi secara kuat dari hulu sampai ke hilir. Sebagai contoh, keluarnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 mengenai kenaikan cukai rokok dinilai oleh Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) menyebabkan bangkrutnya perusahaan rokok. Disebutkan akibat kebijakan tersebut jumlah pabrik rokok di Malang Raya terus menurun dari 114 pabrik pada tahun lalu, kini hanya tersisa sekitar 30 pabrik rokok kecil.

De-industrialisasi menimbulkan dampak semakin langkanya lapangan pekerjaan pada sektor formal dalam industri dan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menjamin penghidupan rakyat. Data statistik menyebutkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal mencapai 78 persen dari 104 juta tenaga kerja. Kondisi mereka hampir sama dengan pengangguran penuh yang jumlahnya berkisar antara 9-11 juta jiwa.

Rokok sebagai Industri Terakhir
Terlepas dari berbagai kontroversi yang terjadi dalam masyarakat, harus diakui bahwa rokok merupakan salah satu industri nasional yang tersisa dari sekian banyak industri lainnya yang telah mengalami penghacuran terlebih dahulu. Kegiatan pengusahaan rokok mulai dari hulu sampai ke hilir masih dikerjakan oleh rakyat Indonesia sendiri, sebagian besar diantaranya adalah perusahaan-perusahaan nasional dan kegiatan perdagangannya di dalam negeri telah melibatkan rakyat secara luas.
Seluruh proses produksi rokok mulai dari bahan baku yakni tembakau hingga produk akhir yaitu rokok dikerjakan di dalam negeri. Pada seluruh lini produksi ini dapat dipastikan akan menyerap tenaga kerja dan memberi nilai tambah pada perekonomian.
Berbeda sekali dengan industri lainnya di Indonesia yang sebagian besar adalah industri bernilai tambah rendah dimana sebagian besar komponen bahan bakunya berasal dari impor. Keadaan ini dibuktikan dari statistik impor Indonesia dimana 70 persen lebih adalah impor bahan baku. Sisanya adalah barang modal dan barang konsumsi. Industri yang fully integrated semacam industri rokok lebih membuka peluang bagi penyerapan tenaga kerja yang besar.

Ketua Dewan Pertimbangan HKTI, Siswono Yudhohusodo, tembakau dan industri hasil ikutannya (rokok) selama ini telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap ekonomi nasional. "Dari sisi hulu sampai hilirnya, industri tembakau atau rokok menyerap Tenaga Terlibat Langsung (TTL) sebesar 6,1 juta.

Bandingkan dengan industri tambang yang menjadi primadona pemerintah dalam beberapa waktu belakangan hanya menyerap 34 ribu tenaga kerja langsung (ESDM, 2007) . Padahal luas lahan yang dialokasikan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara saja mencapai 44 juta hektar. Bandingkan dengan lahan untuk pertanian tembakau yang hanya seluas 198 ribu ha (2007). Ini disebabkan kegiatan pertambangan hanya merupakan ekploitasi bahan mentah untuk pasar ekspor dan bernilai tambah rendah secara ekonomi. Sedangkan tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh pertambangan sangat besar, bersifat massal dan cenderung tidak terprediksi baik secara ekonomi, dampak lingkungan maupun kesehatan manusia.

Dengan dukungan sumber daya alam khsususnya tanah yang relative kecil, pertanian tembakau menciptakan industry hulu yang luas. Jumlah pabrik rokok yang saat ini telah mencapai 4416 pabrik ( golongan I: 6 pabrik, golongan II: 27 pabrik, golongan III: 106 pabrik, golongan IIIA: 282 pabrik, dan sisanya adalah pabrik golongan III B (2007). Dari total industri rokok tersebut, sebesar 75 persen terdiri dari rokok kretek, sebesar 17,2 persen mild dan 7,7 rokok putih.

Rata-rata penyerapan tenaga kerja industri rokok per perusahaan secara keseluruhan adalah sebesar 765 orang per perusahaan. Industri rokok kretek (31420) yang terdiri dari SKM dan SKT mampu menyerap rata-rata sebesar 851 orang per perusahaan. Industri rokok putih (31430) yang merupakan penghasil rokok putih (SPM) rata-rata per perusahaan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 437 orang, dan industri rokok lainnya rata-rata per perusahaan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 126 orang.
Hanya saja yang perlu dibenahi adalah tingkat upah pekerja yang bekerja pada berbagai industri rokok yang masih berada dibawah rata-rata upa pekerja sektor lainnya, seperti makanan dan minuman, pakaian jadi, logam dll. Rata-rata upah sektor tembakau atau rokok menurut data BPS menurun dari Rp 807.6 ribu pada desember 2007 menjadi Rp 770.1 ribu pada September 2009.

Sementara dari sisi penerimaan negara, industri ini menyumbangkan pendapatan yang cukup besar. Direktur Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Frans Rupang di Denpasar, Kamis (14/1/2010) menyatakan cukai dari produksi seluruh pabrik rokok berdasarkan tingkat produksi totalnya sepanjang tahun lalu mampu menghasilkan Rp 56,4 triliun sebagai penerimaan negara.

Selanjutnya, rantai perdagangan rokok dikerjakan oleh masyarakat Indonesia sendiri, bahkan sebagian besar diantaranya adalah informal sector seperti pedagang kaki lima, warung-warung kopi dan lain sebagainya. Industri juga menciptakan multiflier effect baik dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat di luar industri tersebut. Efek ganda ini diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan apa yang dihasilkan dalam rantai produksi industri ini.

Kesimpulan
Fakta –fakta di atas menggambarkan kepada kita bahwa isu pembatasan, rokok haram dan berbagai restriksi tentang tembakau dan rokok harus dilihat secara ekonomi politik, baik sebab maupun dampak-dampaknya. Keberadaan rokok tidak dapat dipandang dari isu kesehatan semata.

Berbagai perundingan internasional baik yang secara langsung berkaitan dengan tembakau dan rokok maupun yang berhubungan dengan investasi dan perdagangan secara keseluruhan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia mutlak harus diwaspadai oleh masyarakat. Banyaknya utang dan komitmen bantuan dana dari luar negeri di belakang semua perjanjian internasional, termasuk agreement tentang rokok menjadi penyebab masuknya berbagai agenda asing dalam produk UU dan kebijakan nasional.

Selain itu, isu anti rokok yang semakin intensif tepat pada saat agenda liberalisasi perdagangan (free trade agreement) semakin marak, tampaknya berpotensi merugikan ekonomi dalam negeri, dikarenakan negara-negara yang menjadi pesaing dagang utama Indonesia dalam perdagangan internasional adalah negara-negara yang merupakan produsen tembakau cukup besar. Ada kecenderungan bahwa upaya pelemahan industri rokok nasional adalah bagian dari upaya untuk mendukung impor rokok dari luar negeri.

Semestinya jika pemerintah hendak membatasi rokok dan juga mengurangi industrinya maka harus diringi dengan upaya untuk menyediakan alternatif industri nasional lainnya yang kuat dan sanggup menyediakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi masyarakat. Sepanjang hal tersebut belum dapat dilakukan pemerintah maka tidak ada alasan untuk menjalankan kebijakan tersebut karena sama saja dengan menghancurkan sumber pekerjaan dan penghidupan rakyat…

Ekonomi Kriminal

Masalah yang paling berat yang dihadapi oleh rakyat Indonesia saat ini adalah menghadapi pemerintahan SBY-Boediono yang saban hari membuat masalah, mengacaukan situasi, melakukan terror ekonomi, memicu instabilitas, ketidakpastian, yang kesemuanya lebih dari sekedar kesalahan dalam menggunakan mashab ekonomi mainstream tetapi lebih jauh merupakan bentuk-bentuk ekonomi kriminal.

Pandangan ini cukup beralasan jika melihat cara pemerintah baik dalam memproses dan menetapkan suatu kebijakan. Pada tahap tersebut sangat tampak sifat-sifat kriminal dalam strategi yang digunakan.

Ciri dari ekonomi kriminal tersebut adalah ; pertama, sejak awal niat dari kebijakan memang ditujukan untuk menjahati/mencurangi rakyat dan menguntungkan segelintir penguasa dan elite penguasa, kedua, proses pengambilan keputusan tidak melalui konsultasi publik yang luas dan sama sekali tidak memperhatikan kondisi obyektif yang dihadapi masyarakat, ketiga, pelaksanaan kebijakan yang terburu-buru menimbulkan peluang korupsi yang besar dan rencana korupsi tampaknya merupakan bagian dari tujuan kebijakan dan keempat, implikasi dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan menimbulkan kerusakan ekonomi dan penderitaan rakyat yang tiada habis-habisnya.

Belajar dari kebijakan kebijan konversi minyak tanah ke gas, ciri ekonomi kriminal terlihat dari; pertama ; motif dasar kebijakan konversi minyak tanah ke gas adalah agar pemerintah dapat menaikkan harga BBM untuk memberi keuntungan pada pebisnis BBM, kedua, kebijakan konversi tersebut sekaligus memberi keutungan kepada para pebisnis gas, tabung gas, yang notabene adalah mereka yang memiliki kedekatan dengan penguasa, ketiga, proses pengambilan keputusan yang terburu-buru memberi keuntungan pada penguasa yang cenderung korup dikarenakan publik tidak memiliki kesempatan mengawasi secara ketat dan keempat, publik harus menerima dampak kerusakan dari kebijakan ini yaitu meningkatnya harga-harga akibat kenaikan BBM dan meledaknya tabung-tabung gas di rumah-rumah penduduk akibat kualitas tabung dan perangkatnya yang buruk dikarenakan praktek pengadaannya yang terindikasi korup.

Demikian pula motif dibalik kebijakan menaikkan harga TDL juli 2010 lalu, kebijakan ini tampaknya memiliki sebab dan akan menimbulkan implikasi yang sama. Tampak niat jahat pemerintah untuk mencari keuntungan dari rakyat dengan menyerahkan PLN kepada pihak swasta dibalik kebijakan ini. Kebijakan yang hendak dilaksanakan secara tiba-tiba ini terindikasi penuh dengan sogok, suap dari calon investor listrik. Juga tidak menutup kemungkinan memecah belah PLN dalam skema privatsiasi akan menimbulkan kerusakan seperti kebakaran rumah-rumah penduduk. Pada ahirnya sama seperti ledakan tabung gas, namun tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab dalam masalah ini.

Patut pula dicurigai kebijakan pemerintah yang hendak melakukan redenominasi mata uang, motif dasar dibalik kebijakan tersebut adalah jelas untuk menurunkan nilai tukar masyarakat, menutup-nutupi phenomena inflasi atau kenaikan harga-harga yang selalu terjadi dalam jumlah yang sangat besar dari tahun ke tahun. Kebijakan ini tampaknya ditujukan untuk pengadaan proyek benilai triliunan rupiah bagi pencetakan uang bagi pengusaha swasta yang memiliki kedekatan dengan BI. Juga tidak menutup kemungkinan proyek pengadaan uang baru akan melahirkan korupsi yang luas, apalagi jika dilaksanakan menjelang pemilu 2014 mendatang, maka akan sangat berpotensi digunakan untuk melanggengkan supremasi keluarga kroni Cikeas. Selanjutnya kebijakan ini pun nantinya akan menciptakan tekanan dan kerusakan ekonomi yang parah pada level rakyat.

Sehingga boleh dikatakan pola kebijakan pemerintah tersebut diatas bukan sekedar kejahatan ekonomi biasa terjadi secara sektoral, akan tetapi lebih merupakan ekonomi kriminal dikarenakan meliputi seluruh aspek ekonomi, mulai niat, logika pembenarannya yang mengacu pada kapitalisme, praktek pelaksanaan yang korup dan dampak ahirnya yang sangat merusak.



Akar Masalah

Seluruh bentuk ekonomi kriminal bersumber dari melencengnya idielogi ekonomi dari konstitusi. Kebijakan tidak lagi menggunakan mashab Pancasila dan UUD 1945 dalam memecahkan masalah ekonomi. Pemerintah cenderung pada mashab neoliberalisme dalam membenarkan kebijakan-kebijakan yang sifatnya merugikan rakyat. Spirit awal dari kebijakan jelas untuk mencurangi rakyat.

Peratuturan dan kebijakan negara meniru, mengadopsi dan mensyahkan aturan internasional dari badan dunia seperti PBB, WTO, G-20, ASEAN, secara membabi buta tanpa mempertimbangkan kondisi obyektif nasional. Padahal organisasi multilateral tersebut adalah kaki tangan para penguasaha dan penguasa negara-negara maju. Sehingga seluruh kesepakatan yang dihasilkan tentu saja dalam mendukung kepentingan negara-negara industri maju.

Sebagai contoh keluarnya kebijakan tentang daftar negative investasi (DNI) melalui perpres 36 Tahun 2010 yang secara bersamaan dengan wacana redenominasi mata uang rupiah, merupakan kebijakan dalam rangka ASEAN Economic Community dalam skema regionalisme ASEAN. Tentu saja kebijakan ini ditujukan untuk menyerahkan sumber daya dan pasar Indonesia bersama negara anggota ASEAN kepada negara-negara maju, Eropa, Jepang, AS.

Sikap dan tidakan pemerintah yang mengabdi pada kapitalisme dan negara maju tersebut dilakukan dalam rangka untuk mengemis dan menghiba utang luar negeri sebagai sumber untuk membiayai kekuasaan. Kebiasaan mengemis utang ini telah meracuni dan merusak mental seluruh elite penguasa. lebih parah lagi setiap perolehan utang dianggap menjadi prestasi.

Akibatnya, kesepakatan internasional masuk dalam hukum positif nasional, undang-undang sektoral dan kebijakan nasional lainnya secara subversive. Dengan demikian maka pemerintah memiliki landasan yang sah dalam melakukan pencabutan subsidi, impor pangan, penjualan aset negara, mengobral kekayaan alam pada pihak asing. Akibatnya kekayaan nasional sama sekali tidak dapat didayagunakan untuk memperbaiki kondisi rakyat. Justru kekayaan nasional yang besar menjadi bencana bagi rakyat.



Kebijakan yang Kejam

Kebijakan diambil cenderung berdasarkan interest pribadi penguasa, kelompok dan golongan orang yang memiliki kedekatan dengan penguasa dengan niat tidak baik kepada rakyat. Hasil dari semua kebijakan tentu saja menguntungkan aktor-aktor asing dan kolaboratornya di dalam negeri dalam rangka mengeruk uang dari rakyat. Parahnya kebijakan untuk sekedar mengeruk uang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Saban hari pemerintah selalu mengintip keuntungan apa yang mungkin ditarik dari persoalan yang dihadapi rakyat. Setiap kesempatan akan digunakan dengan baik tanpa peduli rakyat tengah berhadapan dengan situasi yang sulit. Misalnya pada momen dimana kebutuhan rakyat akan barang dan jasa seperti pada Bulan Puasa, Lebaran, Natal dan hari besar keagamaan lainnya, pemerintah selalu membuat kebijakan yang memicu kenaikan harga-harga. Hal ini dilakukan agar para pengusaha asing, importir bahan pokok dan kapitalis nasional yang menjadi kolaborator pemerintah dapat mengeruk keuntungan yang besar.

Pemerintah selalu memutuskan kebijakan yang membahayakan rakyat sebagai cara untuk mencari proyek berikutnya. Dalam kasus ledakan tabung gas, pemerintah dan pengusaha justru mengambil untung atas situasi ini. Proyek pertama untuk mengatasi ledakan adalah penarikan tabung yang bermasalah dan menggantikan dengan tabung baru. Ini sama halnya dengan proyek penyelamatan korban lumpur lapindo, dengan terlebih dahulu mangatakan bahwa semburan gas yang masih berlangsung hingga saat sebagai bencana. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan trilunan uang untuk mengatasi lumpur. Lagi-lagi penguasa dan pemerintah mengambil untuk dari bencana yang diciptakan sendiri.

Tidak hanya itu, bahkan dalam proses atas nama penyelematan rakyat akibat korban kebijakan, penguasa dari pusat sampai daerah kembali tak henti-hentinya melakukan perampokan uang rakyat. Ini dapat dilihat dalam proses korupsi dana bencana alam, dana bantuan social, dll. Istana kepresidenan, kepolisian, kejaksaaan, gubernur, bupati menjadi sarang penyamun, menjelma menjadi parasit yang menggerus kekayaan negara.

Secara keseluruhan penyelenggaraan ekonomi tidak lebih dari paket perbuatan kriminal yang dikerjakan secara bersama-sama oleh pemerintah bersama pengusaha asing dan nasional untuk mengeruk untung dengan cara-cara yang semakin tidak beradab. Ekonomi kriminal semacam ini telah menjadi definisi baku pembangunan Indonesia.

Menegakkan Kehormatan Bangsa

Senjata adalah alat diplomasi luar negeri. Diujung senjata ada visi kemerdekaan, kemandirian dan kedaulatan bangsa. Dibelakang senjata ada tentara yang setia melindungi negara, konstitusi dan rakyat. Di barisan terdepan ada para pemuda yang siap membela kehormatan dan harga diri bangsa dan negara sebagai pelaksanaan prinsip bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.

Sekali lagi, untuk kesekian ratus kalinya bangsa ini dihina, diremehkan oleh negeri tetangga. Malaysia menjalankan diplomasi dengan cara yang tidak hormat, menembaki, menagkap petugas Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang tengah melaksanakan tugas menjaga perbatasan NKRI. Untuk kesekian puluh kalinya pula pemerintahan SBY menghiba, memohon agar pelecehan terhadap harga diri bangsa Indonesia diselesaikan dengan cara baik-baik, meski Malaysia sudak menembak.

Kejadian diatas menunjukkan betapa pengecutnya strategi diplomasi yang dijalankan oleh elite politik tua negeri ini. Mereka yang memegang kekuasaan negara kehilangan keberanian untuk berhadapan dengan negara lain. Dalam meja perundingan elit tua tertunduk malu, minder dan hilang percaya diri. Mereka telah bertekuk lutut terlebih dahulu sebelum pertempuran terbuka dibuka dimulai.

Mental pengemis menjadi sebab utama mengapa bangsa ini begitu gampang ditaklukkan. Ketidakyakinan pada kekuatan sumber daya dan rakyat sendiri menyebabkan elite politik saban hari mengemis utang luar negeri, mengemis investasi asing, mengemis tehnologi dan pengetahuan dari bangsa lain. Bahkan untuk membuat UU dan peraturan negara ternyata mereka mengemis bantuan pada ahli-hali asing.

Itulah mengapa begitu sangat mudahnya negara-negara maju mengntrol Indonesia. Kaum imperialis dengan menggunakan kaki tangannya di dalam negeri dengan sangat enteng berhasil merubah konstitusi dasar UUD 1945. Antek-antek negara imperialis telah berhasil memasukkan aturan ekonomi neoliberal ke dalam hukum positif nasional secara subversive. Agen kapitalis multinasional telah sukses membelokkan arah dan haluan negara Republic Indonesia keluar dari cita-cita proklamasi, Pancasila dan UUD 1945.

Sejengkal demi sejengkal, hingga mencapai jutaan hektar tanah negeri ini diambil alih pihak asing Jepang, AS, dan Negara-negara Eropa. Sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikeruk dan diangkut ke negara-negara industri. Bank, uang, yang menjadi jantung ekonomi dikuasai dan dikendalikan oleh asing. Manusia Indonesia menjadi kuli, tidak hanya di luar negeri akan tetapi didalam negerinya sendiri. Di dalam negeri menjadi kuli perkebunan sawit Malaysia, di luar negeri menjadi pembantu membersihkan kotora n orang-orang Malaysia.

Negara Indonesia menjadi ajang permainan bangsa lain, tidak hanya dikeruk, dikuras, akan tetapi diremehkan dan direndahkan. Bahkan diantara-negara-negara tetangga sekalipun, bangsa ini tidak diletakkan dalam posisi yang setara, perbatasan negara diacak-acak, sumber daya alam dicuri, para TKI dianiaya secara tidak berdab.

Bangsa ini harus diselamatkan.!! Kepemimpinan nasional harus diambil alih dari tangan agen nekolim yang tak lagi memiliki pendirian, martabat dan kehormatan. Kendali negara harus direbut dari tangan elite tua yang lemah, rapuh. Saatnya tentara berbaris bersama rakyat, bersama kekuatan pemuda di pabrik, di kampung, kantor-kantor pemerintahan. Melalui persatuan pemuda maka kemerdekaan dapat diwujudakan dan imperialism dan neokolonialisme diberantas sampai dengan akar-akarnya.

Defisit APBN “Retorika Pembenaran Utang LN”

Salamuddin Daeng
Institute for Global Justice-IGJ

Ada satu hal yang paling sering dikemukakan oleh pemerintah setiap berencana mengambil utang luar negeri yaitu defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Benarkah pemerintah kekurangan uang ? bukankah APBN setiap tahun mengalami peningkatan ? lalu mengapa defisit tetap dipertahankan.?
Pertanyaan-pertanyaan diatas tidak pernah dijawab dengan transparan oleh pemerintah. Sangat tampak kesan bahwa defisit anggaran yang kemudian menjadi alasan untuk mengambil hutang luar negeri seolah menjadi hukum baku yang tidak dapat diubah sama sekali.
Defisit APBN 2011 dipatok oleh pemerintah sebebsar 1,7 persen. Meski angka ini menurun dari defisit tahun lalu sebesar 2,2 persen, namun belum menunjukkan perubahan paradigma APBN. Padahal Presiden sendiri sebelumnya menyatakan bahwa APBN seharusnya menuju kearah yang lebih berimbang.
Secara nominal nilai utang terhadap PDB masih tetap tinggi. Nilai PDB 2010 diperkirakan sebesar 6300 trilun dan tahun 2011 diperkirakan sebebesar 6703 trilun. Dengan asumsi pertumbuhan sebesar 6,2 % atau sebesar Rp 403 tiliun maka nilai defisit 1,7 persen masih tetap tinggi yaitu mencapai Rp 113.9 trilun.
Sementara APBN 2010 Sebesar Rp 1.047 Triliun dan tahun 2011 ditargetkan sebebsar Rp 1.086 trilun atau mengalami peningkatan sebesar 3,72 persen atau sebesar Rp 39 trilun. Angka peningkatan APBN lebih rendah dari nilai peningkatan defisit. Hal ini kurang logis dalam logika efesiensi, yaitu lebih besar pasak daripada tiang.
Dengan demikian peningkatan APBN tersebut akan tetap ditopang oleh utang luar negeri. peningkatan ini tidak mencerminkan kemajuan dalam kinerja ekonomi yang selanjutnya menyebabkan peningkatan pajak yang dapat diserap oleh pemerintah sebagai sumber APBN.
Sebagaimana diketahui bahwa anggaran yang defisit yang selama ini menjadi strategi pemerintah dalam penyusunan APBN merupakan peluang untuk mendapatkan utang luar negeri. Utang luar negeri seolah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penyelenggaraan negara.
Apalagi dimasa pemerintahan SBY bertambahnya hutang seolah menjadi prestasi dari pemerintahan ini. Dalam beberapa perundingan internasional banyak kita temukan bahwa motivasi pemerintah Indonesia dalam negosiasi adalah mendapatkan utang luar negeri.
Hal ini terlihat dari sikap pemerintah dalam forum G20 dan perundingan perubahan iklim di Kopenhagen. Meskipun komitmen utang itu belum terealisasi hingga saat ini, namun motivasi semacam ini jelas merugikan.
Tidak hanya itu proses negosiasi perdagangan bebas dengan China (ACFTA) di Yokyakarta beberapa waktu lalu, berakhir dengan kesepakatan pemerintah China akan memberikan bantuan utang kepeda Indonesia. Padahal bukanlah itu substansi dari negosiasi tersebut.
Demikian pula dengan pertemuan dalam rangka perdagangan bebas dengan Uni Eropa telah berakhir dengan kesepakatan yang sama. Pihak UE akan memberikan bantuan utang kepada Indonesia untuk menangani berbagai masalah pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim.
Belum lagi dengan utang yang diberikan oleh lembaga keuangan global seperti World Bank dan ADB yang jumlahnya terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Juga pinjaman yang masuk lewat skema utang bilateral dari negara negara maju seperti AS, EU dan Jepang yang juga mengalami terus peningkatan.
Meski jumlah hutang luar negeri Indonesia sudah sangat besar dan untuk membayar bunga dan cicilan utang pokok nilainya melampaui pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan, namun pemerintah terus menumpuk hutang.
Sehingga logika mempertahankan defisit APBN berapapun nilainya adalah masalah ekonomi politik yang besar. Secara ekonomi utang pastilah akan menjadi beban bagi perekonomian Indonesia terutama di masa datang.
Namun yang lebih mengkuatirkan lagi adalah kemampuan penetrasi utang luar negeri dalam mengubah haluan kebijakan ekonomi kerakyatan. Akibat utang luar negeri inilah kebijakan ekonomi nasional semakin jauh dari harapan rakyat.
Yang lebih mengkuatirkan lagi adalah besarnya hutang luar negeri semakin meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap perubahan situasi Global, khususnya flugtuasi dalam nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
Pengalaman krisis 98 mengajarkan kepada kita untuk sebaiknya berhenti menumpuk utang dan APBN sebaiknya bersandar sepenuhnya pada kekuatan ekonomi domestik.

Selasa, 08 Juni 2010

Tolak kebijakan Subsidi untuk Para Politisi, Penguasa dan Pengusaha Lawan kebijakan Pencabutan Subdisi BBM, Gas dan TDL untuk rakyat

Sikap Politik

Pemerintahan SBY kembali menjalankan kebijakan politik yang blunder, menawarkan kepada anggota DPR anggaran sebesar 15 miliar untuk setiap Dapil. Ini adalah kebijakan untuk menyogok anggota DPR agar tidak lagi kritis terhadap pemerintah. Anehnya kebijakan ini juga diamini oleh anggota DPRRI, sebagian besar Fraksi di DPR menyatakan kegembiaraannya atas tawaran ini.

Kebijakan memberikan hak atas pengelolaan anggaran kepada anggota DPR meski hanya sebatas Dapil mereka, kebijakan ini terkesan mengada-ada, konyol dan aneh jika dikaitkan dengan sistem kenegaraan kita. Mengapa DPR tidak meningkatkan pengawasnnya terhadap kinerja eksekutif dalam melaksanakan program APBN yang direncanakan dan ditetapkan bersama dengan DPR. Sekali lagi ini aneh dan mengada-ada yang membuka peluang korupsi baru. Selain itu ini distorsi yang merusak cara berfikir konstitusional masyarakat. Ini suatu involusi hukum yang tidak berkualitas.

Pemerintah SBY memang menyenangi huru hara dan gara-gara lalu cuci tangan. Sebelumnya pemerintah telah membailout bank yang dirampok senilai 6,7 trilun secara secara bersama-sama oleh pemerintahan SBY-Boediono-Sri Mulyani dan beberapa orang politisi di senayan. Kasus ini pun hingga saat ini tidak jelas penanganannya dan todak pula jelas siapa yang bertanggung jawab. Sri Mulyani dilepas begitu saja dan melarikian diri ke Amerika Serikat. Boediono juga hingga saat ini masih melenggak-lenggok dan belum pernah diperiksa oleh penegak hukum. Demikian juga halnya SBY memperlihatkan lepas tangan terhadap kasus ini.

Selain itu pemerintahan memelihara korupsi oleh para pengusaha dengan membiarkan terjadi pengemplangan pajak ratusan triliun yang hingga saat ini juga belum jelas penganganannya. Presiden SBY kembali bersekutu dengan para pengemplang pajak melalui sekber Koalisi. Ini jelas Hipokrasi alias kemunafikan yang dipertontonkan SBY dan selkutu-sekutunya di hadapan rakyat.

Pemerintahan SBY juga semakin erat menjalin persekutuan dengan perusahaan-perusahaan asing dan lembaga keuangan multilateral. Setiap tahun pemerintah mengorbankan anggaran rakyat untuk membayar bunga hutang dan cicilan hutang pokok ratusan triliun ke Bank-Bank Internasional, seperti World Bank, Asian Developmnet Bank (ADB) dan negara-negara maju seperti AS, Uni Eropa dan Jepang. Besarnya subsidi yang ditolak untuk diberikan pemerintah kepada rakyat sebenarnya masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dengan bunga hutang dan cicilan hutang pokok.

Apa yang dilakukan oleh pemerintahan SBY selam 5 tahun terakhir semakin jauh dari keadilan. Meskipun anggaran APBN kita yang jumlahnya lebih dari 1000 trilun dan mengalami peningkatan 2 kali lipat, akan tetapi pemerintah tidak mau berbagi sedikitpun dengan rakyat. Bahkan jika ada subsidi untuk rakyat mereka menyebutnya dengan beban bagi APBN, sementara stimulus fiskal untuk pengusaha, dana bailout untuk perbankkan disebut sebagai kewajiban bagi negara. Padahal rakyatlah yang paling banyak mengkontribusikan pajak terhadap pemerintah.

Sehingga rencana pencabutan subsidi BBM, Gas, Listrik tentu merupakan kebijakan yang sangat tidak adil. Kebijakan ini hanya akan memperkaya para pebisnis migas, mulai dari penguassa minyak dan gas di sektor hulu yang sebagian besar adalah perusahaan-perushaan asing, para pedagangan BBM seperti pertamina, PN Gas, dan pengusaha pemilik ritel BBM dan Gas. Kebalikannya kebijakan ini akan semakin memiskinkan rumah tangga miskin yang harus membayar energi dengan harga yang lebih mahal, usaha kecil dan pedagang kaki lima yang terpaksa harus membayar listrik, membeli minyak dan gas dengan harga yang lebih mahal dan pengusaha-pengusaha menengah nasional yang terpaksa harus menanggung biaya produksi yang semakin tinggi.

Ditengah gempuran perdagangan bebas yang marak dilakukan oleh pemerintah melalui FTA (free trade agreement) dengan negara-negara ASEAN, India, China dan Korea dll, kebijakan akan semakin menekan daya saing industri dalam negeri. Bagaimana tidak negara-negara lain seperti China, India menjual energi seperti listrik, gas jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia. ini tentu meningkatkan daya saing perusahaan luar negeri dalam melakukan perdagangan di Indonesia.

Rencana menaikkan harga BBM, listrik, TDL dengan cara-cara manipulatif jelas mencederai rakyat yang tengah dihimpit kesulitan ekonomi. Kenaikan harga ketiga komponen energi tersebut akan berdampak luas terhadap kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat. Kebijakan ini juga akan menjadi alasan semakin meningkatnya biaya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Mengingat ketiga komponen energi tersebut merupapak penentu dari biaya produksi barang dan jasa.

Rencana jahat pemerintah SBY bersama koalisi kaum tua di sekber partai koalisi dan sekutunya di DPR adalah kebijakan yang harus ditentang dan dilawan. Rakyat tidak boleh membiarkan pemerintahan yang berkaki lempung tetapi ponggah ini terus berkuasa. Rakyat tidak dapat membiarkan pemerintah yang bingung, tuli, buta duduk nyaman diatas singgasana kekuasaan. Membiarkan pemerintah ini terus berkuasa sama saja dengan membirkan kejahatan merajalela, sama dengan membiarkan negara amburuk, sama dengan membiarkan tetangga, keluarga dan kawan-kawan kita semakin banyak yang miskin, kehilangan pekerjaan dan kelaparan.

Maka saatnya pemuda Indonesia sebagaimana takdir sejarahnya untuk segera menyingsingkan lengan baju, meneriakkan yel-yel perlawanan, melakukan aksi-aksi yang lebih menentukan dalam menjatuhkan rezim ini dan mengambil alih kepemimpinan nasional. Pemuda Indonesia memiliki kesanggupan sekarang karena kaum tua sudah khinat, menjadi agen nekolim dalam melakukan penindasan terhadap rakyat. Pemuda Indonesia memiliki tugas suci menyelematkan Sumpah Pemuda, cita-cita Proklamasi dan amanat UUD 1945. Sekarang ! sebelum bangsa dan negara ini hancur !!!

Bubarkan Sekber Koalisi Jahat Kaum Tua
SBY – Bodiono Mundur
Kembali Kepada Sumpah Pemuda, Cita-cita Proklamasi, amanat UUD 1945

Jakarta, 9 Juni 2010

PETISI 28

Kamis, 06 Mei 2010

Agen Nekolim SBY-Boediono Mundur !!! BANK DUNIA MUNDUR DARI INDONESIA SEKARANG!!!

SBY menyatakan masih menunggu permintaan resmi dari Direktur World Bank sebelum menerima pengunduran diri Sri Mulyani.


Makna yang terkandung dibalik statemen SBY adalah bahwa World Bank (Bank Dunia) mengatur secara penuh apa yang harus dilakukan Presiden Republik Indonesia dan presiden SBY tampaknya akan menuruti keinginan lembaga keuangan multilateral tersebut sekaligus sebagai strategi untuk menyelamatkan Sri Mulyani dari jeratan hukum atas keterlibatannya dalam kasus korupsi Bank Century.
Sosok Sri Mulyani memang pribadi yang selama ini menjadi agen utama lembaga keuangan multilateral, baik Bank Dunia, IMF, ADB. Ketiga lembaga keuangan tersebut merupakan pemberi utang terbesar bagi Indonesia. Akibat dari kebijakan ketiga lembaga keuangan iinternasional tersebut menyebabkan Indonesia masuk dalam jajaran negara miskin dengan dengan jumlah hutang terbesar di dunia.
Sri Mulyani telah menjadi agen IMF sejak 2002 dengan menjabat direktur IMF untuk kawasan Asia Fasifik. Hingga tahun 2008 yang bersangkutan masih berperan penting bagi lembaga tersebut dengan posisi anggota komite reformasi internal. Selama itu Sri Mulyani telah menunjukkan kesuksesannya dalam menjalankan kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi sebagaimana yang diinginkan oleh IMF. Itulah yang menyebabkan Sri Mulyani kemudian menjadi salah satu orang yang dipromosikan untuk menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan indonesia oleh kekuatan modal multinasional tersebut.
Pemerintahan SBY adalah pemerintahan yang sangat pro pada kepentingan modal multinasional. Hal ini ditunjukkan oleh kebijakan memberikan jabatan-jabatan menteri yang paling strategis seperti perencanaan pembangunan, keuangan perbankkan kepada orang-orang yang memiliki hubungan baik, loyalitas kepada lembaga keuangan multinasional. Hal itulah yang menjadi alasan menunjuk Sri Mulyani pada jabatan paling strategis dalam kabinet SBY.
Selama menjadi menteri dimasa pemerintahan SBY, Sri Mulyani menunjukkan keberhasilannya dalam menjalankan proyek-proyek utang luar negeri khususnya dari Bank Dunia. Selama menjabat sebagai menteri keuangan Sri Mulyani adalah aktor utama dibalik lahirnya berbagai UU nekolim di bidang investasi, perdagangan dan keuangan yang memang dibiayai oleh utang luar negeri dari World Bank.
Dengan bermodalkan utang luar negeri dari World Bank, Sri Mulyani berhasil memanipulasi berbagai bantuan World Bank dalam rangka pemenangan pemilu SBY pada pemilu 2009 lalu. Utang luar negeri Bank Dunia yang disalurkan dalam bentuk cash transfer, raskin, PNPM mandiri, jamkesmas dll, sebagai kebijakan money politik yang luas dalam proses pemilu yang kemudian dimenangkan oleh SBY. Dalam situs website Bank Dunia, tergambarkan bahwa dari tahun 2004 hingga 2009 bank dunia membiayai sedikitnya 82 proyek utang senilai kira-kira 8,5 miliar USD dalam rangka termasuk didalamnya program BLT, PNPM mandiri, raskin, selain prioritaslembaga tersebut membiayai pembuatan peraturan perundang-undangan dan infrastruktur Investasi luar negeri. Umumya program bantuan luar negteri untuk jaring pengaman social semacam itu adalah hutang dengan bunga tinggi. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa waktu lalu memperkuat analisis tentang peran lembaga keuangan multinasional tersebut dalam pemangan SBY dalam pemilu 2009. Kontribusinya yang besar dalam mempertahankan dan memenangkan SBY menjadikannya dipilih kembali sebagai menteri keuangan SBY.
Jasa besar Sri Mulyani dalam mengkontribusikan uang besar bagi pemenangan SBY tidak hanya terkait kepiawaiannya dalam menggunakan bantuan Bank Dunia dalam meningkatkan popularitas SBY tetapi juga berhasi menggolak kebijakan bailout bank century yang juga diduga digunakan sebagai sumber keuangan oleh SBY dalam rangka membiayai pemenangan pemilu 2009. Meskipun akibat kebijakan tersebut Sri Mulyani dinyatakan oleh DPR terlibat dalam skandal korupsi Bank Century dan harus diadili secara hukum.
Kebijakan Bank Dunia menunjuk Sri Mulyani sebagai salah satu managing director Bank Dunia bersama dua direktur lainnya dari Nigeria dan Newzealand, tampaknya memang menunjukkan karakter utama dari cara beroperasinya Bank Dunia selama ini. Tidak diragukan bahwa Bank Dunia sepanjang sejarahnya terlibat dalam berbagai skandal politik, demokarasi dan pembiaran korupsi di negara-negara miskin yang menjadi donornya.
Bank Dunia terlibat dalam agresi militer ke Indonesia tahun 1947 dengan memberi pinjaman kepada Belanda sebesar 195 juta US$, mendukung kudeta di Indonesia tahun 1966 dengan pinjaman 8,2 juta US$, medukung peroses penumbangan pemerintahan secara inkonstitusional di belahan dunia lainnya. Dengan cara itu Bank Dunia berhasil menempatkan negara-negara miskin sebagai nasabah utama mereka yang terus berhutang kepada Bank Dunia sepanjang sejarahnya. Bank Dunia juga terbukti melakukan pembiaran terhadap korupsi utang luar negeri yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun memerintah Indonesia yang dilaporkan oleh transparansi Indonesia jumlahnya berkisar antara 15 – 35 miliar US$.
Sehingga bukan suatu hal yang aneh jika Sri Mulyani diminta oleh Bank Dunia untuk menjadi salah satu pengambil kebijakan penting di Bank tersebut. Selain Sri Mulyani seoarang loyalis, posisi Indonesia dalam peta pertarungan global yaitu antara China berhadapan dengan triad imperialis yaitu AS, Jepang dan EU sebagai pemegang saham terbesar Bank Dunia, menyebabkan Bank Dunia membutuhkan akses politik Sri Mulyani dalam mengintervensi kebijakan perdagangan Indonesia. Selain untuk menyelamatkan Sri Mulyani dari jeratan hukum dengan cara menariknya ke Washington.
Penarikan Sri Mulyani sebagai managing director World Bank menjadi ancaman besar bagi rakyat Indonesia, pengetahuan Sri Mulayani terhadap situasi ekonomi politik indonesia dan akses Sri Mulyani yang besar terhadap pemerintahan SBY akan menjadi dasar kebijakan Bank Dunia dalam menjalankan ekonomi politik NEKOLIM di Indonesia.
Atas dasar hal tersebut kami mendesak :
1. Agen Nekolim SBY-Boediono-Sri Mulyani mudur atas tindakan subversi terhadap UUD 1945 dan skandal korupsi dana bailout Bank Century.
2. Pemerintahan SBY untuk segera menghentikan kebijakan ekonomi politik nekolim seperti liberalisasi investasi, perdagangan bebas, pivatisasi dan deregulasi keuangan yang disponsori oleh Bank Bunia yang telah terbukti menyengsarakan rakyat.
3. Menyerukan kepada pemerintah dan parlemen agar menjalankan ekonomi Indonesia diatas dasar konstitusi yaitu pancasila dan UUD 1945 terutama pasal 33 ayat 1, 2 dan 3.
4. Bank Dunia untuk segera mundur dari Indonesia dan menghapuskan seluruh utang luar negeri Indonesia yang sesunguhnya telah lunas terbayarkan lewat bunga selama 40 tahun lebih.
Demikian pernyataan ini kami buat, atas perhatian dan kerjasamanya disampaikan banyak terimakasih.

Jakarta, 6 Mei 2009

Petisi 28

Rabu, 05 Mei 2010

Rakyat Tidak Boleh Kalah Melawan Koruptor !! Cekal Sri Mulyani dan Adili SEGERA !!

Pernyataan Sikap Berkaitan dengan Intervensi Bank Dunia terhadap proses hukum Sri Mulyani dan Boediono



Kini, setelah merusak kehidupan ekonomi sosial rakyat Indonesia, Sri Mulyani kembali mengabdi pada pangkuan tuan majikannya yakni Bank Dunia. Pengangkatan Sri Mulyani Indrawati sebagai Managing Direktur Bank Dunia adalah upaya Bank Dunia melakukan intervensi politik-hukum terhadap kedaulatan hukum bangsa Indonesia. Intervensi hukum-politik yang dilakukan Bank Dunia adalah bagian dari upaya penyelamatan dan perlindungan terhadap kader-kader Neoliberal yakni Sri Mulyani dan Boediono dari jeratan hukum. Bank Dunia sebagai lembaga donor dunia secara arogan dan sewenang-wenang tidak menghargai proses hukum yang sedang berlangsung. Kondisi ini memperlihatkan Pemerintahan SBY lemah dan tunduk terhadap perintah-perintah kaum majikannya yakni Bank Dunia. Padahal keberadaan Bank Dunia bagi negara berkembang khususnya Indonesia justru membebani dan telah ikut andil dalam menghancurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi-sosial rakyat Indonesia.

Perlakuan khusus yang diberikan aparat penegak hukum kepada Sri Mulyani dan Boediono merupakan preseden buruk bagi penegakkan hukum. Aparat penegak hukum yang memiliki independensi dari kepentingan kelompok justru tunduk dan patuh terhadap kekuatan modal asing, bukti ini merupakan pertanda bahwa penegakan hukum yang memiliki asas keadilan akan semakin menjauh dari harapan rakyat.

Jalan mulus untuk mengubur penuntasan skandal bank century sudah didepan mata. Mundurnya Sri Mulyani sebagai Menkeu secara resmi diterima oleh Presiden SBY, praktis proses penegakkan hukum terhadap kejahatannya akan terhenti. Praktis jika aparat hukum tidak ada langkah-langkah nyata terhadap upaya larinya Sri Mulyani dari tanggungjawab hukum akan memperburuk citra sebagai pemerintahan yang bersih dari korupsi.

Langkah-langkah nyata aparat penegak hukum adalah dengan mendorong seluruh instansi terkait untuk melakukan PENCEKALAN terhadap Sri Mulyani. Pencekalan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan Sri Mulyani mempertanggungjawabkan kebijakannya di depan hukum sampai selesai. Untuk itulah kami dari Petisi 28 menuntut :
1. Mendesak aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, Kepolisian untuk melakukan PENCEKALAN terhadap Sri Mulyani sampai proses hukum terhadap skandal century selesai.
2. Mendesak KPK untuk segera Menangkap Sri Mulyani dan Boediono sebagai dalang skandal korupsi bank century
3. Mendesak kepada Bank Dunia untuk tidak melakukan intervensi terhadap proses hukum yang dihadapi Sri Mulyani dan Boediono.
4. Menyerukan kepada seluruh rakyat indonesia untuk terus bergerak dalam usaha-usaha pembersihan pemerintah dari kejahatan korupsi dan intervensi NEKOLIM.

Jakarta, 6 Mei 2010

MAHKUMJAKPOL: DAUR ULANG ORDE BARU

Oleh : Boni Hargens
Pengamat Politik Ul/Anggota Petisi 28

Forum Koordinasi dan Konsultasi Penegak Hukum (Mahkumjakpol) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama pimpinan Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Aguang dan Polri pada Selasa (4/5) kemarin, mengingatkan kita pada Mahkejapol-nya Soeharto masa Orde Baru dulu.

Apakah Mahkumjakpol ini akan efektif memberantas mafia hukum, pelaku korupsi, makelar kasus, dan berbagai bentuk mafia lainnya di ranah sosial, hokum, politik, dan ekonomi? Dulu Soeharto, melalui Mahkejapol, ingin mengendalikan upaya penegakan hukum dari satu titik, yakni Presiden. Hasilnya, penegakan hukum adalah urusan "musyawarah". Kali ini, SBY ingin mendaur poia yang sama, dan boleh jadi, semua urusan hukum pun bakal dapat dimusyawarahkan.

Dalam pernyataannya, Presiden SBY menegaskan pentingnya politisi tidak memasuki ranah hukum alias tidak melakukan intervensi. Saya membaca dua makna berlawanan di balik pernyataan tersebut.

Pertama, Presiden ingin membantah tuduhan intervensi politik di balik pengusutan skandal Century dan dalam kasus lain seperti Misbakhun, Gayus, Anggoro-Anggodo, Susno Duadji, dll.

Kedua, pernyataan Presiden justru memuat kontraproduksi. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam struktur politik, entah kepaia daerah atau kepala negara, adalah pihak yang paling mampu melakukan intervensi politik, Mereka memiliki fasilftas dan kevvenangan untuk melakukan intervensi. Di daerah, kepolisian, kejaksaan, dan birokrasi seringkali mudah berkonspirasi dengan kepala daerah. Di tingkat nasional juga, birokrasi, aparat kepolisian, dan kejaksaan adalah alat hukum yang bisa diintervensi oleh presiden karena lembaga-lembaga tersebut berada di bawah kewenangan Presiden.

Jadi, himbauan presiden soal intervensi politik terhadap kasus hukum itu justru dialamatkan pada diri pemerintah sendiri. Dan pernyataan itu harus dibuktikan dalam pengusutan skandal Century,




Setidaknya Presiden tak lagi memberikan pembelaan dan periindungan terhadap Boediono dan Sri Mulyani Indrawati seperti terungkap dalam pidato Presiden tanggal 5 Maret 2010 yang menanggapi hasil paripurna DPR Rl mengenai Skandal Century.

Pemerintah Pandai Berwacana

Dalam pidatonya juga, Presiden secara tidak langsung mengkritik para pengamat dan analis. "Di sini bedanya pemerintah dengan Saudara sebagai penegak hukum, dibanding pengamat, analis dan pengawas yang juga sering cerdas, sering tepat, seharusnya begini, seharusnya begitu. Betul semua, tetapi berhenti di situ. Tetapi kita harus benar-benar menjalankan dan meiaksanakan itu, ujar Presiden (Kompas, 5/5).

Tersirat di sini, Presiden peduli dengan kritik para pengamat dan mengharapkan pemerintah bekerja lebih banyak dari berbicara, bukan sebaliknya seperti yang biasa terjadi dengan para pengamat.

Presiden lupa, bahwa justru pemerintah yang banyak berwacana dan bergagasan, tetapi pemerintah pulalah yang seringkali alpa mewujudkan omongannya. Itu yang terjadi dengan kesediaan presiden dulu untuk mengambil alih tanggungjawab atas masalah Century, Sampai sekarang, itu hanya omongan. Sekarang Boediono juga mau bertanggungjawab, bahkan di dunia dan di akhirat, katanya. Tetapi omongan butuh pembuktian. Itu yang kita tunggu dengan pemeriksaan oleh KPK dan pengawasan oleh Tim Monitoring DPR.

Akankah Skandal Century berakhir dengan mernenuhi rasa keadiian pubiik ataukah mengecewakan karena kental nuansa politis? Pilihan terbaik akan diperoleh jika pemerintah tidak sekedar berwacana tentang pemerintahan bersih, tidak sekedar berwacana tentang anti-intervensi, dan tidak sekedar bermusyawarah dalam menegakkan hukum, tetapi betul-betul ingin melakukan reformasi dari dalam.

Sebab kalau tidak, apa bedanya pemerintahan SBV dan pemerintahan Soeharto yang ahli bermusyawarah tetapi krisis pelaksanaan? ***

Doekoen Coffee, 5 Mel 2010

Rabu, 21 April 2010

KPK HARUS DIHUKUM KARENA LUMPUH TUNTASKAN SKANDAL CENTURY Rp. 6,7 Triliun

SIKAP POLITIK

Pedang keadilan hukum KPK kembali tumpul. KPK seolah-olah menutup mata terhadap rekomendasi Pansus Century yang menjelaskan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap proses bailout Century. Rekomendasi Pansus Century yang memuat tiga hal diantaranya adalah dugaan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum adalah keputusan politik yang mengikat secara hukum yang mau tidak mau harus dijalankan oleh aparat penegak hukum. Namun sekali lagi bahwa kinerja KPK cenderung pasif , bahkan ketika sudah mendapatkan dukungan spontanitas public secara luas terhadap kasus kriminalisasi Bibit-Chandra tidak memperlihatkan kesungguhan dan keseriusan dalam membongkar skandal century sampai kini.
Sudah hampir 5 bulan lebih penanganan skandal perampokan uang rakyat Rp. 6,7 triliun di Bank Century jalan ditempat. Ketiadaan kemajuan penanganan skandal Century patut diduga bahwa KPK telah menjadi alat kepentingan tertentu yang selama ini terindikasi terlibat dalam kebijakan bailout century. Bahkan kecepatan KPK telah terlampaui dengan aparat penegak hukum lainnya dalam menangani berbagai skandal seperti kasus Gayus Tambunan, Susno Duaji, Misbhakun dan lain-lain. Seharusnya KPK memiliki independensi dari semua kepentingan tertentu termasuk kekuasaan, kini justru KPK telah menyatu dan bersama-sama dengan kekuasaan untuk mengamankan seluruh kepentingannya. Berlarut-larutnya penanganan skandal perampokan uang rakyat Rp. 6,7 triliun tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dapat dinilai sebagai itikad buruk dalam penegakan hukum. Gambaran ini memperlihatkan bahwa KPK dengan sengaja telah melumpuhkan dirinya sendiri dalam penegakkan hukum.
Kini, Rakyat telah menghukum KPK dengan tidak mendukung upaya kriminalisasi KPK atas kasus kemenangan super Anggodo. Dukungan rakyat akan kembali meluas ketika KPK membuktikan komitmennya untuk menuntaskan skandal century dengan memeriksa Sri Mulyani, Boediono dan SBY sebagai actor intelektual kebijakan bailout.
Oleh karena itu Petisi 28 menyatakan dan menyerukan :
1. Mendesak KPK untuk segera memeriksa Sri Mulyani, Boediono, dan SBY sebagai actor yang bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan wewenang kekuasaan dalam bailout century.
2. Menyerukan kepada seluruh rakyat untuk memberikan dukungan jika KPK berani membuktikan dan mempertanggungjawabkan terhadap penuntasan skandal century.

Jakarta, 22 April 2010

Petisi 28

Minggu, 18 April 2010

Tolak Liberalisasi Unggas

Pernyataan Sikap
Terkait Pemberlakuan Perda No. 4 Tahun 2007

Pemerintahan SBY –Boerdiono dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo semakin menunjukkan dirinya sebagai agen Neokolonialime dan Imperialisme (NEKOLIM). Berbagai kebijakan anti rakyat dibuat oleh pemerintah dalam rangka mendukung kepentingan modal besar khususnya modal asing untuk menguasai seluruh kegaiatan ekonomi di negara ini.

Pada level internasional pemerintah menandatangani berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan di seluruh sector termasuk pertanian dan peternakan. Akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan perangkap pangan (food trap) dimana kebutuhan pangan dalam negeri seperti beras, gandum, daging, susu, kedelai, gandum, buah-buahan, sayur-sayuran, gula, bahkan garam dipenuhi dari impor. Kegiatan perdagangan pangan tersebut sepenuhnya dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar asing.

Selain itu, berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah (Perda) dibuat dalam rangka mendukung dan memfasilitasi kepentingan pemilik modal besar asing untuk menguasai seluruh sektor termasuk sector peternakan. Padahal sector tersebut tempat sebagian besar rakyat menyandarkan ekonomi mereka yang seharusnya dilindungi pemerintah.

Di tingkat pusat pemerintah mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rangka membuka impor daging dari negara yang belum bebas penyakit hewan menular (PHM) seperti Brasil dan India. UU ini tidak hanya mengancam peternakan dalam negeri dari penularan penyakit hewan ternak kepada hewan ternak lainnya, akan tetapi juga sekaligus menghadap-hadapkan peternakan rakyat dengan impor ternak dari luar negeri yang harganya sangat murah.

Sementara di DKI Jakarta pemerintah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas. Jika membaca pasal-pasal dalam UU ini maka terlihat upaya pemerintah untuk membatasi dan bahkan memberangus usaha-usaha peternakan rakyat. Perda ini memuat tiga hal pokok ; (1) Persayaran perijinan yang sangat berat dan sulit untuk dipenuhi oleh peternakan unggas milik rakyat. (2) menjadi alat bagi pemerintah dalam melakukan penyitaan dan memusnahan (de-populasi) peternakan unggas milik rakyat dan (3) pemberian sangsi yang berat dan sangat represif terhadap rakyat. Kebijakan pemerintah DKI Jakarta akan menjadi preseden buruk yang segera akan diikuti oleh pemeritahan dearah khususnya kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Alasan pemerintah DKI adalah dalam rangka menjaga penularan penyakit ungas khususnya pada manusia. Padahal dibalik semua itu terdapat misi tersembunyi pihak asing dalam rangka memberangus basis produksi rakyat. Propaganda penyakit flu burung yang berakhir dengan pemusnahan unggas milik rakyat adalah kampanye kaum imperialis asing dalam rangka menguasai pasar ungas dan kegiatan usaha peternakan unggas di dalam negeri. Kampanye flu burung terbukti didanai oleh utang dari negera-negara Imperialis seperti Amerika Serikat (AS) dan lembaga keuangan dunia seperti World Bank (WB) yang merupakan kaki tangan AS dan sekutu-sekutunya.

Kebijakan pemerintah pusat dan Pemda DKI Jakarta yang kontraproduktif tersebut ditujukan untuk (1) melemahkan dan bahkan menghancurkan secara perlahan-lahan usaha peternakan dalam negeri khususnya peternakan unggas milik rakyat. (2) Meningkatkan ketergantungan pangan khususnya produk ternak ungas dari impor. Semestinya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana memajukan peternakan nasional dengan membuat kebijakan dan peraturan daerah yang menguntungkan rakyat.

Atas hal tersebut kami menyatakan menolak Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas dan mendesak Pemerintah SBY - Boediono khususnya Pemda DKI Jakarta Fauzi Bowo untuk :

1. Mendesak Pemrov DKI untuk membatalkan Perda No. 4 th 2007 yang akan menghancurkan usaha-usaha kecil rakyat yang menopang perekonomian Nasional.

2. Melindungi usaha-usaha peternakan ungas rakyat dan melindungi pasar unggas dalam negeri dari impor ternak dan produk ternak.

3. Memberikan susidi dan insentif yang besar kepada usaha-usaha peternakan unggas milik rakyat dan peternakan milik rakyat lainnya.

4. Menyediakan fasilitas, infrastuktur, tehnologi dan ilmu pengetahuan rangka memajukan usaha peternakan unggas rakyat dan peternakan milik rakyat lainnya.


Demikian pernyataan ini disampaikan untuk dilaksanakan seluruhnya sebagai strategi dasar dalam mengatasi krisis pangan, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.


Jakarta 22 Maret 2010


Petisi 28

Kamis, 15 April 2010

Negara Pelayan Modal (Sebuah Keprihatinan terhadap upaya paksa Negara dalam men-privatkan Pelabuhan Tanjung Priok)

oleh : Gigih Guntoro

Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud.
Sebagai sebuah bangsa yang memiliki kedaulatan ekonomi dan politik berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila, kini Indonesia hanya sekedar menjadi pasar, sasaran eksploitasi alam, dan sasaran eksploitasi tenaga kerja murah bagi kemajuan negeri-negeri kapitalis maju. Produktivitas rata-rata masih sangat rendah sementara, konsumtivisme dipaksa menjadi budaya dominan. Pengangguran semakin banyak, kemiskinan bertambah, dan praktek percaloan bukan sekadar budaya di sektor ekonomi tapi, juga melanda sektor politik dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Penghancuran industri strategis nasional oleh Negara justru marak terjadi pada era reformasi. Atasnama “efisiensi” Negara melakukan program privatisasi terhadap seluruh asset strategis sebagai satu paket kebijakan nekolim. Pemerintah selama ini beragumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk menutup deficit anggaran. Privatisasi dipercaya sebagai jalan menghilangkan intervensi politik (birokrasi Negara) terhadap BUMN. Privatisasi juga dianggap cara yang paling ampuh untuk menyehatkan dan meningkatkan kinerja BUMN.
Privatisasi menjadi satu paket dengan liberalisasi ekonomi dan deregulasi yang kini berujung pada dominasi modal asing terhadap 90% pengelolaan migas, 50% penguasaan perbankan nasional
Privatisasi sebagai upaya untuk mengambilalih ekonomi nasional. Penguasaan asset-aset strategis nasional seperti air, tanah, migas dan lain-lain pada hakekatnya sebagai bentuk penjajahan baru. Agresifitas kekuatan modal asing dalam melakukan ke privat-an terhadap ruang-ruang public selama ini justru telah memuluskan penyedotan surplus ekonomi rakyat. Meluasnya pembentukan ruang-ruang privat inilah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai neo kolonialisme (NEKOLIM) ekonomi Indonesia.
Kegagalan pemerinah dalam pengelolaan ekonomi public (BUMN) sebagai bagian dari warisan struktur ekonomi colonial sentralistik yang mendoron ifisiensi dan eksploitasi BUMN. Negara justru telah bertransformasi menjadi pelayan kapitalisme global yang jelas bertolakbelakang dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

Liberalisasi Sektor Pelabuhan
Agresifnya modal asing dalam melakukan ekspansi kekuasaan ekonomi politik melalui produk regulasi di wilayah Indonesia sudah tidak dapat terbendung. Aset strategis termasuk pelabuhanpun (Pelindo) secara perlahan sudah dikuasai oleh modal asing, Saat ini kepemilikan sahan perusahaan afliasi PT Pelindo II sebanyak 51 persen kepemilikan sahamnya dimiliki oleh Grosbeak Pte.Ltd sebuah anak perusahaan Hutchinson Port Holding dari Hongkong. Perusahaan ini memperoleh konsesi 20 tahun untuk mengelola pelabuhan priok.
Pelabuhan di kota-kota besar khususnya di Medan, Batam, Jakarta, Surabaya/Gresik/Tuban, Makassar menjadi pilot project terhadap keberhasilan ekspansi modal asing sebagai Port Operator. Paket liberalisasi pelabuhan ini sebenarnya untuk memuluskan jalannya liberalisasi perdagangan, system yang menghilangkan proteksi Negara dengan membentuk kawasan ekonomi khusus (KEK) di beberapa kawasan pelabuhan strategis.
Melalui UU Pelayaran No.17 Tahun 2008, paket liberalisasi pelabuhan memiliki legitimasi secara hukum. Peluang masuknya orang ataupun perusahaan dalam membangun atau mengelola terminal di pelabuhan Indonesia yang selama ini dioperasikan Pelindo akan semakin mudah. Produk legislasi inipun menjadi ancaman terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia dan tentunya akan mengurangi pendapatan Negara berupa pajak dan deviden yang pada tahun 2007 mencapai Rp.1,180 triliun. Seiring dengan itupun, bahwa paket UU no.17/2008 menguatkan program Free Trade Agreement di tingkat kawasan ataupun G to G yang menegaskan pada ketiadaan biaya tariff (tarrif non barrier) pajak bea.
Dalam satu sisi, kondisi ini merupakan tantangan terhadap percepatan perdagangan bebas, namun kondisi real industri nasional yang sedang mengalami kebangkrutan dalam dasawarsa terakhir tentunya akan kalah bersaing dengan industri Negara maju yang sudah menancapkan kakinya di Indonesia. Kran liberalisasi yang dibuka secara luas dan kekuatan modal asing yang terus meluaskan ekspansi jajahannya tentunya akan berdampak buruk terhadap kedaulatan ekonomi politik.
Liberalisasi tidak mengenal batas social dan budaya, mereka merangsek dan menghancurkan pondasi kehidupan budaya rakyat. Tidak terkecuali upaya penggusuran makam mbah Priok secara paksa oleh Pelindo II adalah contoh kecil dari agresifnya kekuatan modal dalam menghancurkan tradisi/keyakinan warga. Atasnama modal, kekuasaan telah sewenang-wenang terhadap perlindungan hak asasi manusia dan hak ulayat warga yang mempertahankan tradisi/keyakinan tersebut secara turun temurun.
Oleh karena itu, pelabuhan harus dikembalikan pada fungsi awalnya yang tidak hanya sebagai pusat perdagangan (ekonomi) tetapi juga sebagai basis kekuatan politik dan benteng pertahanan dari ancaman perdagangan bebas yang tidak mengenal toleransi sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Proteksionisme dan monopolistic terhadap peran pelabuhan oleh negaralah yang dapat menjaga dan memperkuat basis ekonomi nasional dari ancaman perdagangan bebas sehingga pondasi dan tatanan ekonomi nasional dapat bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa lain.

STOP PRAKTEK BANALISME !! Keprihatinan terhadap kekerasan di Koja Tanjung Priok Jakarta

Satpol PP yang baru saja berulang tahun ke-60 justru tidak menunjukkan perubahan orientasi dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai alat penegak hukum. Satpol PP menjadi aktor utama dalam menghadirkan praktek kekerasan terhadap warga yang mempertahankan hak-haknya hampir di seluruh daerah. Praktek Kekerasan secara brutal seolah-olah menjadi satu-satunya alat untuk menjalankan kebijakan pemerintahan. Praktek penggusuran warga etnis China Benteng, penggusiran pedagang kaki lima di seluruh pasar DKI hingga penggusuran makam Keramat Mbak Priok yang disertai dengan penangkapan, penahanan dan sampai penyitaan yang sewenang-wenang merupakan pelanggaran hukum. Penggusuran secara paksa terhadap makam Mbak Priok adalah bentuk arogansi kekuasaan (Pemprov) dan modal (Pelindo) dalam merusak budaya Islam yang seharusnya dipelihara oleh negara. Arogansi kekuasaan dengan kekerasan justru telah menjadikan budaya yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wajah Satpol PP yang penuh dengan kebrutalan dan banalisme ini merupakan cerminan dari karakter pemerintah yang selalu mengedepankan kekerasan dalam “menertibkan” rakyat. Potret ini memperlihatkan pada ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan adminitrasi yang akuntabel dan pengelolaan persoalan-persoalan perkotaan dan kemiskinan tanpa kekerasan. Pemerintah masih memandang kekumuhan dan kemiskinan musuh bersama yang harus diperangi dengan kekerasan, rakyat miskin sebagai warga “liar” yang mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Rakyat miskin masih dianggap penyakit masyarakat. Oleh karena itu rakyat miskin mesti disingkirkan dari kota.

Penyingkiran terhadap rakyat miskin ternyata telah menjadi lahan subur praktek korupsi, pemerasan dan bisnis atau komoditas kemiskinan di lingkungan pemprov. Rakyat miskin menjadi obyek ekonomis yang dipelihara kemiskinannya, dianggarkan status miskinnya, dan ditangkap kemudian diperas harta dan kehidupannya dengan ukuran ekonomis atau uang secara berulang-ulang sehingga menjadi komoditas yang menguntungkan. Terlebih kemiskinan telah menjadi proyek besar Pemda dengan anggaran besar pula.

Terus maraknya praktek kekerasan oleh aparat penegak hukum merupakan bukti dari kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk pemenuhan dan penegakkan HAM. Penghormatan terhadap HAM hanya bersifat normative, hanya pengakuan terhadap tata nilai HAM, sedangkan implementasinya pemerintahan selalu absen. Kini, Praktek Banalisme seperti ini justru telah menghancurkan citra pemerintahan yang kian terpuruk dalam memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap warga. Pendekatan hukum dengan kekerasan justru telah menjadi preseden buruk terhadap penegakkan hukum dan hak asasi manusia.

Oleh karena itu, Kami dari Petisi 28 menuntut :
1. Bubarkan Satpol PP yang telah menjadi alat kekerasan negara dalam menjalankan tugasnya.
2. SBY- Boediono harus bertanggungjawab terhadap praktek-praktek kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum diseluruh daerah.
3. Gubernur, Wakil Gubernur DKI Jakarta ( Fauzi Bowo dan Prijanto) dan Kepala Satpol PP (Harianto Bajuri) untuk mundur dari jabatannya karena telah gagal memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap rakyat dengan melakukan pembiaran kekerasan terhadap rakyat.
4. Walikota Jakarta Utara untuk mundur karena telah bersekutu dengan kekuatan modal untuk melakukan penggusuran terhadap makam Mbak Priok dan kekerasan terhadap rakyat.
5. Periksa, adili dan tangkap Dirut Pelindo beserta jajarannya karena telah melakukan dugaan scenario penggusuran disertai dengan kekerasan terhadap rakyat.


Jakarta, 15 April 2010
Hormat Kami,

Petisi 28

Facebook : petisi dua delapan
Twitter : petisi 28