Senin, 13 Desember 2010

KONSTITUSIONALITAS PENDAPAT PUBLIK tentang PENGGULINGAN SBY

Beberapa hari belakangan ini, kata “penggulingan” lebih sering terdengar dari biasanya, entah dari para pengkritik Presiden SBY atau dari politisi, baik yang oposan maupun yang sebiduk dengan Presiden SBY. Rupanya keadaan politik aktual memancing reaksi yang sedemikian dahsyat sehingga kata tersebut lebih sering muncul dari biasanya. Pendapat ini bukannya muncul tanpa alasan, selain karena momentum 1 tahun pelantikan Presiden SBY, pendapat ini muncul karena fakta menyeruak tentang kegagalan Presiden SBY dalam menjalankan amanahnya sebagai Presiden.
Kata “konstitusionalitas” adalah antonim dari kata “inskonstitusionalitas” yang menyatakan sebuah keadaan yang sesuai dengan norma yang termaktub dalam konstitusi. Beberapa tokoh publik ramai-ramai memberikan pendapat bahwa pendapat (publik) yang menyatakan Presiden SBY layak digulingkan adalah inkonstitusional perlu dikaji secara komparatif, terutama dengan perilaku SBY sebagai Presiden RI. Wacana penggulingan SBY sendiri telah menjelma menjadi entitas publik yang dapat memiliki sebuah implikasi konstitusional (dan juga implikasi inkonstitusional), tergantung dari bagaimana pendapat itu akan disalurkan. Bahwa SBY adalah Presiden sah yang dihasilkan melalui pemilu adalah benar, namun di sisi lain berpendapat tentang sesuatu adalah hak yang dilindungi oleh konstitusi, juga benar adanya.
Konstitusi kita mengatur bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945), dimana UUD mengamanatkan diadakannya sebuah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sendiri adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945). Kemudian UUD 1945 juga mengatur jika Presiden dapat diberhentikan dengan syarat-syarat tertentu (Pasal 7B UUD 1945). Lalu bagaimana jika Presiden telah terpilih secara sah melalui pemilu, tetapi melakukan pembangkangan terhadap putusan lembaga Negara (DPR dan MK)? Atau jika kebijakan Presiden tidak berpedoman kepada UUD 1945? Atau jika Presiden terpilih mendapat penolakan secara masif di publik, meski kekuatan eksekutif dan legislatif berkongkalikong mempertahankannya, dan kemudian dianggap tindakan inkonstitusional?
Menyoal tentang pembangkangan terhadap putusan lembaga Negara, Presiden SBY setidaknya telah 2 kali melakukan hal tersebut. Pertama, adalah sesaat setelah keputusan Sidang Paripurna DPR yang menyatakan proses bailout Bank Century menyimpang, namun Presiden mengatakan bahwa kebijakan bailout Bank Century adalah tidak melanggar hukum. Kedua, mengenai Putusan MK yang menyatakan jabatan Hendarman Supandji adalah ilegal pasca dibacakannya putusan tersebut. Terhadap Putusan MK ini Presiden melalui Sekretariat Negara dan Staf Khusus bersikukuh masih menyatakan Hendarman sah sebagai Jaksa Agung (sebelum akhirnya mendapat tekanan publik). Dari 2 contoh diatas, sebenarnya Presiden telah layak dikualifikasi melakukan Pelanggaran Sumpah dan Janji sebagai Presiden sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 9 ayat 1 UUD 1945, dimana Sumpah dan janji Presiden adalah untuk memegang teguh UUD, yang juga mengandung arti mentaati seluruh keputusan lembaga Negara (termasuk DPR dan MK) yang lahir dan diberikan kewenangan oleh UUD 1945. Terhadap perbuatan ini, sebenarnya Presiden SBY telah melanggar Pasal 7A UUD 1945, sehingga layak diusulkan untuk diberhentikan. Tapi apalah daya, ternyata kekuatan DPR/legislatif ternyata tidak cukup berani menyatakan hal tersebut sebagai pelanggaran konstitusi/inkonstitusionalitas Presiden SBY.
Menyoal tentang kebijakan Presiden yang tidak berpedoman kepada UUD 1945, setidaknya terindikasi dalam pembentukan lembaga antah-berantah yang bernama Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) melalui Keppres Nomor 37 Tahun 2009. Selain tidak ada dalam struktur ketatanegaraan, lembaga ini juga rawan politisasi karena hanya menjadi lembaga citra Presiden SBY yang seolah-olah telah memberantas korupsi, dan sangat subyektif dalam memilih kasus yang akan diangkat karena Satgas PMH bertanggungjawab kepada Presiden melalui UKP4. Dalam sepak terjangnya Satgas juga telah melakukan diskriminasi dengan tidak menyentuh sama sekali dugaan pelanggaran hukum yang bersifat mafia yang melibatkan Presiden, Istana dan kroni-kroninya. Bahkan yang lebih parah, Satgas PMH juga gagal mengungkap alasan utama pembentukannya, yaitu Kriminalisasi KPK. Jadi dapat disimpulkan Presiden SBY telah melakukan pelanggaran UUD 1945 Pasal 17 Tentang Kementerian Negara, dimana untuk melaksanakan kewenangannya Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara. Pembentukan Satgas PMH melalui Keppres adalah bentuk inkonstitusionalitas nyata yang dilakukan Presiden SBY.
Selain inkonstitusionalitas diatas, Presiden SBY juga melakukan perbuatan tercela dengan memberikan Grasi kepada terpidana koruptor yang telah divonis pengadilan. Perbuatan tersebut memang konstitusional (karena sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat 1), namun masuk dalam kualifikasi tercela karena Presiden telah melakukan perbuatan sewenang-sewenang dengan menggunakan kekuasaannya untuk memberikan Grasi kepada orang yang tidak tepat. Bahkan atas perbuatan ini Presiden SBY layak mendapat julukan pro koruptor dan kontra terhadap pemberantasan korupsi. Atas perbuatan tercela tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 7A UUD 1945, Presiden SBY sebenarnya juga layak untuk diusulkan diberhentikan. Namun apa mau dikata, lagi-lagi kartel eksekutif dan legislatif bersatu erat dalam satu kekuatan memicingkan mata atas fakta ini.
Atas keadaan diatas wajar jika kemudian muncul sebuah rasa ketidakpercayaan mendalam dan meluas yang dialami oleh rakyat Indonesia. Ketidakpercayaan itu kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan masif yang menilai Presiden SBY gagal memimpin dan layak untuk diganti (baca: digulingkan). Namun apa hendak dikata, jalan konstitusional telah ditutup rapat oleh DPR yang berdagang sapi dengan Pemerintah untuk menutup semua peluang pemakzulan, sehingga rasa ketidakpuasan ini muncul dalam banyak momentum dan di berbagai media sosial yang intinya menyatakan kekecewaan terhadap pemerintahan Presiden SBY.
Pendapat untuk menggulingkan kemudian dicap sebagai gerakan inkonstitusional karena dianggap melanggar konstitusi (UUD 1945). Anehnya dugaan ini justru berkebalikan dengan amanah UUD Pasal 28E ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Jadi atas pendapat publik yang menyatakan bahwa Presiden SBY layak digulingkan dikualifikasi sebagai langkah inkonstitusional oleh beberapa pihak, justru harus kita pertanyakan konstitusionalitasnya. Kemudian atas langkah tersebut, perlu kita kaji secara komparatif terhadap langkah-langkah Presiden SBY yang justru inkonstitusional seperti yang sudah tersebut diatas. Jadi siapa sebenarnya yang inkonstitusional?
Atas rumitnya keadaan diatas sebenarnya ada sebuah exit emergency yang konstitusional (karena diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat 1 UUD 1945) dan konvensi ketatanegaraan yang terlah dicontohkan oleh Presiden Soeharto, yaitu dengan cara menyatakan berhenti. Mengapa jalan ini penting untuk dipilih? Pertama, bahwa langkah ini merupakan langkah preventif untuk mencegah agar kekecewaan rakyat tidak berubah menjadi gerakan yang destruktif seperti kejadian tahun 1998,1965, dan 1974; Kedua, langkah ini elegan, tidak mencederai demokrasi dan bersifat konstitusional; dan ketiga, agar agenda penyelamatan bangsa dari keterpurukan tidak terhambat oleh sifat ego mempertahankan kedudukan secara membabi buta, baik yang dilakukan Presiden sendiri maupun para penjilatnya.


Ahmad Suryono
Tim Hukum Petisi 28
ahmad.suryono@gmail.com (0812 2510 3500)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar