Oleh : Boni Hargens
Pengamat Politik Ul/Anggota Petisi 28
Forum Koordinasi dan Konsultasi Penegak Hukum (Mahkumjakpol) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama pimpinan Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Aguang dan Polri pada Selasa (4/5) kemarin, mengingatkan kita pada Mahkejapol-nya Soeharto masa Orde Baru dulu.
Apakah Mahkumjakpol ini akan efektif memberantas mafia hukum, pelaku korupsi, makelar kasus, dan berbagai bentuk mafia lainnya di ranah sosial, hokum, politik, dan ekonomi? Dulu Soeharto, melalui Mahkejapol, ingin mengendalikan upaya penegakan hukum dari satu titik, yakni Presiden. Hasilnya, penegakan hukum adalah urusan "musyawarah". Kali ini, SBY ingin mendaur poia yang sama, dan boleh jadi, semua urusan hukum pun bakal dapat dimusyawarahkan.
Dalam pernyataannya, Presiden SBY menegaskan pentingnya politisi tidak memasuki ranah hukum alias tidak melakukan intervensi. Saya membaca dua makna berlawanan di balik pernyataan tersebut.
Pertama, Presiden ingin membantah tuduhan intervensi politik di balik pengusutan skandal Century dan dalam kasus lain seperti Misbakhun, Gayus, Anggoro-Anggodo, Susno Duadji, dll.
Kedua, pernyataan Presiden justru memuat kontraproduksi. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam struktur politik, entah kepaia daerah atau kepala negara, adalah pihak yang paling mampu melakukan intervensi politik, Mereka memiliki fasilftas dan kevvenangan untuk melakukan intervensi. Di daerah, kepolisian, kejaksaan, dan birokrasi seringkali mudah berkonspirasi dengan kepala daerah. Di tingkat nasional juga, birokrasi, aparat kepolisian, dan kejaksaan adalah alat hukum yang bisa diintervensi oleh presiden karena lembaga-lembaga tersebut berada di bawah kewenangan Presiden.
Jadi, himbauan presiden soal intervensi politik terhadap kasus hukum itu justru dialamatkan pada diri pemerintah sendiri. Dan pernyataan itu harus dibuktikan dalam pengusutan skandal Century,
Setidaknya Presiden tak lagi memberikan pembelaan dan periindungan terhadap Boediono dan Sri Mulyani Indrawati seperti terungkap dalam pidato Presiden tanggal 5 Maret 2010 yang menanggapi hasil paripurna DPR Rl mengenai Skandal Century.
Pemerintah Pandai Berwacana
Dalam pidatonya juga, Presiden secara tidak langsung mengkritik para pengamat dan analis. "Di sini bedanya pemerintah dengan Saudara sebagai penegak hukum, dibanding pengamat, analis dan pengawas yang juga sering cerdas, sering tepat, seharusnya begini, seharusnya begitu. Betul semua, tetapi berhenti di situ. Tetapi kita harus benar-benar menjalankan dan meiaksanakan itu, ujar Presiden (Kompas, 5/5).
Tersirat di sini, Presiden peduli dengan kritik para pengamat dan mengharapkan pemerintah bekerja lebih banyak dari berbicara, bukan sebaliknya seperti yang biasa terjadi dengan para pengamat.
Presiden lupa, bahwa justru pemerintah yang banyak berwacana dan bergagasan, tetapi pemerintah pulalah yang seringkali alpa mewujudkan omongannya. Itu yang terjadi dengan kesediaan presiden dulu untuk mengambil alih tanggungjawab atas masalah Century, Sampai sekarang, itu hanya omongan. Sekarang Boediono juga mau bertanggungjawab, bahkan di dunia dan di akhirat, katanya. Tetapi omongan butuh pembuktian. Itu yang kita tunggu dengan pemeriksaan oleh KPK dan pengawasan oleh Tim Monitoring DPR.
Akankah Skandal Century berakhir dengan mernenuhi rasa keadiian pubiik ataukah mengecewakan karena kental nuansa politis? Pilihan terbaik akan diperoleh jika pemerintah tidak sekedar berwacana tentang pemerintahan bersih, tidak sekedar berwacana tentang anti-intervensi, dan tidak sekedar bermusyawarah dalam menegakkan hukum, tetapi betul-betul ingin melakukan reformasi dari dalam.
Sebab kalau tidak, apa bedanya pemerintahan SBV dan pemerintahan Soeharto yang ahli bermusyawarah tetapi krisis pelaksanaan? ***
Doekoen Coffee, 5 Mel 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar