Jumat, 20 Agustus 2010

Defisit APBN “Retorika Pembenaran Utang LN”

Salamuddin Daeng
Institute for Global Justice-IGJ

Ada satu hal yang paling sering dikemukakan oleh pemerintah setiap berencana mengambil utang luar negeri yaitu defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Benarkah pemerintah kekurangan uang ? bukankah APBN setiap tahun mengalami peningkatan ? lalu mengapa defisit tetap dipertahankan.?
Pertanyaan-pertanyaan diatas tidak pernah dijawab dengan transparan oleh pemerintah. Sangat tampak kesan bahwa defisit anggaran yang kemudian menjadi alasan untuk mengambil hutang luar negeri seolah menjadi hukum baku yang tidak dapat diubah sama sekali.
Defisit APBN 2011 dipatok oleh pemerintah sebebsar 1,7 persen. Meski angka ini menurun dari defisit tahun lalu sebesar 2,2 persen, namun belum menunjukkan perubahan paradigma APBN. Padahal Presiden sendiri sebelumnya menyatakan bahwa APBN seharusnya menuju kearah yang lebih berimbang.
Secara nominal nilai utang terhadap PDB masih tetap tinggi. Nilai PDB 2010 diperkirakan sebesar 6300 trilun dan tahun 2011 diperkirakan sebebesar 6703 trilun. Dengan asumsi pertumbuhan sebesar 6,2 % atau sebesar Rp 403 tiliun maka nilai defisit 1,7 persen masih tetap tinggi yaitu mencapai Rp 113.9 trilun.
Sementara APBN 2010 Sebesar Rp 1.047 Triliun dan tahun 2011 ditargetkan sebebsar Rp 1.086 trilun atau mengalami peningkatan sebesar 3,72 persen atau sebesar Rp 39 trilun. Angka peningkatan APBN lebih rendah dari nilai peningkatan defisit. Hal ini kurang logis dalam logika efesiensi, yaitu lebih besar pasak daripada tiang.
Dengan demikian peningkatan APBN tersebut akan tetap ditopang oleh utang luar negeri. peningkatan ini tidak mencerminkan kemajuan dalam kinerja ekonomi yang selanjutnya menyebabkan peningkatan pajak yang dapat diserap oleh pemerintah sebagai sumber APBN.
Sebagaimana diketahui bahwa anggaran yang defisit yang selama ini menjadi strategi pemerintah dalam penyusunan APBN merupakan peluang untuk mendapatkan utang luar negeri. Utang luar negeri seolah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penyelenggaraan negara.
Apalagi dimasa pemerintahan SBY bertambahnya hutang seolah menjadi prestasi dari pemerintahan ini. Dalam beberapa perundingan internasional banyak kita temukan bahwa motivasi pemerintah Indonesia dalam negosiasi adalah mendapatkan utang luar negeri.
Hal ini terlihat dari sikap pemerintah dalam forum G20 dan perundingan perubahan iklim di Kopenhagen. Meskipun komitmen utang itu belum terealisasi hingga saat ini, namun motivasi semacam ini jelas merugikan.
Tidak hanya itu proses negosiasi perdagangan bebas dengan China (ACFTA) di Yokyakarta beberapa waktu lalu, berakhir dengan kesepakatan pemerintah China akan memberikan bantuan utang kepeda Indonesia. Padahal bukanlah itu substansi dari negosiasi tersebut.
Demikian pula dengan pertemuan dalam rangka perdagangan bebas dengan Uni Eropa telah berakhir dengan kesepakatan yang sama. Pihak UE akan memberikan bantuan utang kepada Indonesia untuk menangani berbagai masalah pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim.
Belum lagi dengan utang yang diberikan oleh lembaga keuangan global seperti World Bank dan ADB yang jumlahnya terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Juga pinjaman yang masuk lewat skema utang bilateral dari negara negara maju seperti AS, EU dan Jepang yang juga mengalami terus peningkatan.
Meski jumlah hutang luar negeri Indonesia sudah sangat besar dan untuk membayar bunga dan cicilan utang pokok nilainya melampaui pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan, namun pemerintah terus menumpuk hutang.
Sehingga logika mempertahankan defisit APBN berapapun nilainya adalah masalah ekonomi politik yang besar. Secara ekonomi utang pastilah akan menjadi beban bagi perekonomian Indonesia terutama di masa datang.
Namun yang lebih mengkuatirkan lagi adalah kemampuan penetrasi utang luar negeri dalam mengubah haluan kebijakan ekonomi kerakyatan. Akibat utang luar negeri inilah kebijakan ekonomi nasional semakin jauh dari harapan rakyat.
Yang lebih mengkuatirkan lagi adalah besarnya hutang luar negeri semakin meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap perubahan situasi Global, khususnya flugtuasi dalam nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
Pengalaman krisis 98 mengajarkan kepada kita untuk sebaiknya berhenti menumpuk utang dan APBN sebaiknya bersandar sepenuhnya pada kekuatan ekonomi domestik.

1 komentar:

  1. hutang terus, korupsi terus, itulah gambaran pemerintah saat ini. bosan aku melihat kelakuan mereka. thank anda telah memberikan pencerahan tentang gambaran ekonomi bangsa ini.

    BalasHapus