Jumat, 20 Agustus 2010

Ekonomi Kriminal

Masalah yang paling berat yang dihadapi oleh rakyat Indonesia saat ini adalah menghadapi pemerintahan SBY-Boediono yang saban hari membuat masalah, mengacaukan situasi, melakukan terror ekonomi, memicu instabilitas, ketidakpastian, yang kesemuanya lebih dari sekedar kesalahan dalam menggunakan mashab ekonomi mainstream tetapi lebih jauh merupakan bentuk-bentuk ekonomi kriminal.

Pandangan ini cukup beralasan jika melihat cara pemerintah baik dalam memproses dan menetapkan suatu kebijakan. Pada tahap tersebut sangat tampak sifat-sifat kriminal dalam strategi yang digunakan.

Ciri dari ekonomi kriminal tersebut adalah ; pertama, sejak awal niat dari kebijakan memang ditujukan untuk menjahati/mencurangi rakyat dan menguntungkan segelintir penguasa dan elite penguasa, kedua, proses pengambilan keputusan tidak melalui konsultasi publik yang luas dan sama sekali tidak memperhatikan kondisi obyektif yang dihadapi masyarakat, ketiga, pelaksanaan kebijakan yang terburu-buru menimbulkan peluang korupsi yang besar dan rencana korupsi tampaknya merupakan bagian dari tujuan kebijakan dan keempat, implikasi dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan menimbulkan kerusakan ekonomi dan penderitaan rakyat yang tiada habis-habisnya.

Belajar dari kebijakan kebijan konversi minyak tanah ke gas, ciri ekonomi kriminal terlihat dari; pertama ; motif dasar kebijakan konversi minyak tanah ke gas adalah agar pemerintah dapat menaikkan harga BBM untuk memberi keuntungan pada pebisnis BBM, kedua, kebijakan konversi tersebut sekaligus memberi keutungan kepada para pebisnis gas, tabung gas, yang notabene adalah mereka yang memiliki kedekatan dengan penguasa, ketiga, proses pengambilan keputusan yang terburu-buru memberi keuntungan pada penguasa yang cenderung korup dikarenakan publik tidak memiliki kesempatan mengawasi secara ketat dan keempat, publik harus menerima dampak kerusakan dari kebijakan ini yaitu meningkatnya harga-harga akibat kenaikan BBM dan meledaknya tabung-tabung gas di rumah-rumah penduduk akibat kualitas tabung dan perangkatnya yang buruk dikarenakan praktek pengadaannya yang terindikasi korup.

Demikian pula motif dibalik kebijakan menaikkan harga TDL juli 2010 lalu, kebijakan ini tampaknya memiliki sebab dan akan menimbulkan implikasi yang sama. Tampak niat jahat pemerintah untuk mencari keuntungan dari rakyat dengan menyerahkan PLN kepada pihak swasta dibalik kebijakan ini. Kebijakan yang hendak dilaksanakan secara tiba-tiba ini terindikasi penuh dengan sogok, suap dari calon investor listrik. Juga tidak menutup kemungkinan memecah belah PLN dalam skema privatsiasi akan menimbulkan kerusakan seperti kebakaran rumah-rumah penduduk. Pada ahirnya sama seperti ledakan tabung gas, namun tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab dalam masalah ini.

Patut pula dicurigai kebijakan pemerintah yang hendak melakukan redenominasi mata uang, motif dasar dibalik kebijakan tersebut adalah jelas untuk menurunkan nilai tukar masyarakat, menutup-nutupi phenomena inflasi atau kenaikan harga-harga yang selalu terjadi dalam jumlah yang sangat besar dari tahun ke tahun. Kebijakan ini tampaknya ditujukan untuk pengadaan proyek benilai triliunan rupiah bagi pencetakan uang bagi pengusaha swasta yang memiliki kedekatan dengan BI. Juga tidak menutup kemungkinan proyek pengadaan uang baru akan melahirkan korupsi yang luas, apalagi jika dilaksanakan menjelang pemilu 2014 mendatang, maka akan sangat berpotensi digunakan untuk melanggengkan supremasi keluarga kroni Cikeas. Selanjutnya kebijakan ini pun nantinya akan menciptakan tekanan dan kerusakan ekonomi yang parah pada level rakyat.

Sehingga boleh dikatakan pola kebijakan pemerintah tersebut diatas bukan sekedar kejahatan ekonomi biasa terjadi secara sektoral, akan tetapi lebih merupakan ekonomi kriminal dikarenakan meliputi seluruh aspek ekonomi, mulai niat, logika pembenarannya yang mengacu pada kapitalisme, praktek pelaksanaan yang korup dan dampak ahirnya yang sangat merusak.



Akar Masalah

Seluruh bentuk ekonomi kriminal bersumber dari melencengnya idielogi ekonomi dari konstitusi. Kebijakan tidak lagi menggunakan mashab Pancasila dan UUD 1945 dalam memecahkan masalah ekonomi. Pemerintah cenderung pada mashab neoliberalisme dalam membenarkan kebijakan-kebijakan yang sifatnya merugikan rakyat. Spirit awal dari kebijakan jelas untuk mencurangi rakyat.

Peratuturan dan kebijakan negara meniru, mengadopsi dan mensyahkan aturan internasional dari badan dunia seperti PBB, WTO, G-20, ASEAN, secara membabi buta tanpa mempertimbangkan kondisi obyektif nasional. Padahal organisasi multilateral tersebut adalah kaki tangan para penguasaha dan penguasa negara-negara maju. Sehingga seluruh kesepakatan yang dihasilkan tentu saja dalam mendukung kepentingan negara-negara industri maju.

Sebagai contoh keluarnya kebijakan tentang daftar negative investasi (DNI) melalui perpres 36 Tahun 2010 yang secara bersamaan dengan wacana redenominasi mata uang rupiah, merupakan kebijakan dalam rangka ASEAN Economic Community dalam skema regionalisme ASEAN. Tentu saja kebijakan ini ditujukan untuk menyerahkan sumber daya dan pasar Indonesia bersama negara anggota ASEAN kepada negara-negara maju, Eropa, Jepang, AS.

Sikap dan tidakan pemerintah yang mengabdi pada kapitalisme dan negara maju tersebut dilakukan dalam rangka untuk mengemis dan menghiba utang luar negeri sebagai sumber untuk membiayai kekuasaan. Kebiasaan mengemis utang ini telah meracuni dan merusak mental seluruh elite penguasa. lebih parah lagi setiap perolehan utang dianggap menjadi prestasi.

Akibatnya, kesepakatan internasional masuk dalam hukum positif nasional, undang-undang sektoral dan kebijakan nasional lainnya secara subversive. Dengan demikian maka pemerintah memiliki landasan yang sah dalam melakukan pencabutan subsidi, impor pangan, penjualan aset negara, mengobral kekayaan alam pada pihak asing. Akibatnya kekayaan nasional sama sekali tidak dapat didayagunakan untuk memperbaiki kondisi rakyat. Justru kekayaan nasional yang besar menjadi bencana bagi rakyat.



Kebijakan yang Kejam

Kebijakan diambil cenderung berdasarkan interest pribadi penguasa, kelompok dan golongan orang yang memiliki kedekatan dengan penguasa dengan niat tidak baik kepada rakyat. Hasil dari semua kebijakan tentu saja menguntungkan aktor-aktor asing dan kolaboratornya di dalam negeri dalam rangka mengeruk uang dari rakyat. Parahnya kebijakan untuk sekedar mengeruk uang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Saban hari pemerintah selalu mengintip keuntungan apa yang mungkin ditarik dari persoalan yang dihadapi rakyat. Setiap kesempatan akan digunakan dengan baik tanpa peduli rakyat tengah berhadapan dengan situasi yang sulit. Misalnya pada momen dimana kebutuhan rakyat akan barang dan jasa seperti pada Bulan Puasa, Lebaran, Natal dan hari besar keagamaan lainnya, pemerintah selalu membuat kebijakan yang memicu kenaikan harga-harga. Hal ini dilakukan agar para pengusaha asing, importir bahan pokok dan kapitalis nasional yang menjadi kolaborator pemerintah dapat mengeruk keuntungan yang besar.

Pemerintah selalu memutuskan kebijakan yang membahayakan rakyat sebagai cara untuk mencari proyek berikutnya. Dalam kasus ledakan tabung gas, pemerintah dan pengusaha justru mengambil untung atas situasi ini. Proyek pertama untuk mengatasi ledakan adalah penarikan tabung yang bermasalah dan menggantikan dengan tabung baru. Ini sama halnya dengan proyek penyelamatan korban lumpur lapindo, dengan terlebih dahulu mangatakan bahwa semburan gas yang masih berlangsung hingga saat sebagai bencana. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan trilunan uang untuk mengatasi lumpur. Lagi-lagi penguasa dan pemerintah mengambil untuk dari bencana yang diciptakan sendiri.

Tidak hanya itu, bahkan dalam proses atas nama penyelematan rakyat akibat korban kebijakan, penguasa dari pusat sampai daerah kembali tak henti-hentinya melakukan perampokan uang rakyat. Ini dapat dilihat dalam proses korupsi dana bencana alam, dana bantuan social, dll. Istana kepresidenan, kepolisian, kejaksaaan, gubernur, bupati menjadi sarang penyamun, menjelma menjadi parasit yang menggerus kekayaan negara.

Secara keseluruhan penyelenggaraan ekonomi tidak lebih dari paket perbuatan kriminal yang dikerjakan secara bersama-sama oleh pemerintah bersama pengusaha asing dan nasional untuk mengeruk untung dengan cara-cara yang semakin tidak beradab. Ekonomi kriminal semacam ini telah menjadi definisi baku pembangunan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar