Jumat, 20 Agustus 2010

Rokok dan Industrialisasi Nasional

Salamudin Daeng
Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Perdebatan tentang rokok telah melibatkan polemik berkepanjangan dalam beberapa waktu belakangan. Berbagi pihak yang saling berbeda kepentingan mengeluarkan hasil temuan yang berbeda sudut pandang dalam melihat rokok dan segala implikasinya. Namun apapun argumentasi yang dikemukan polemik ini tetaplah merupakan suatu pertarungan dalam rangka perebutan sumber daya dan pasar.

Lalu bagaimanakah kita bangsa Indonesia melihat polemik ini? maka setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana kedudukan rokok terkait dengan industrialisasi nasional dan kedua, kedudukan dalam potret pertarungan perdagangan bebas yang semakin marak dalam beberapa waktu terakhir. Kedua hal tersebut penting dilihat oleh pemerintah dalam rangka merumuskan kebijakan yang tepat dalam memberikan perlakuan terhadap kegiatan perusahaan tembakau dan rokok dalam strategi pembangunan nasional, baik secara ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Sebelum membedah masalah ini lebih jauh maka ada baiknya kita melihat hal-hal umum yang dihadapi masayarakat dunia saat ini dan bagaimana kaitannya dengan masalah ekonomi politik yang dihadapi rakyat Indonesia.

Arah Perekonomian Dunia
Saat ini, kapitalisme dunia tengah mengalami krisis yang hebat yang menerpa negara-negara yang menjadi induk kapitalisme. Krisis yang pada awalnya melanda AS dan kemudian meluas melanda sekutu-sekutunya yang lain seperti Jepang dan terakhir Uni Eropa.

Krisis ini memiliki dampak yang besar bagi tatanan ekonomi global. Negara-negara yang mengalami krisis akan berusaha mencari sumber-sumber modal dan keuangan dalam rangka mengembalikan stabilitas ekonomi mereka.

Upaya untuk membentuk keseimbangan yang baru dalam perekonomian global akan melibatkan dua hal. Pertama, meningkatkan kontrol negara-negara maju akan sumber daya alam di seluruh penjuru dunia dan kedua, meningkatkan penguasaan atas pasar barang maupun jasa dalam rangka mencari sumber keuangan yang lebih banyak.
Dibentuknya G20 merupakan salah satu strategi dalam rangka penyelesaian krisis global. Forum ini merupakan perluasan dari G8, yang merupakan kelompok negara-negara Industri maju. Namun sekarang dipeluas keanggotaannya menjadi negara dengan PDB terbesar di dunia. Dalam Keanggotaan G20 masuklah Indonesia, India, China dan Brasil untuk mengambil bagian dalam rangka penyelesaian krisis.

Krisis kapitalisme akan menimbulkan tekanan ekonomi bagi Indonesia. Pertama, negara ini akan menjadi sasaran dalam rangka investasi dan penguasaan sumber daya alam oleh modal besar asing. Kedua, Indonesia akan menjadi sasaran ekspansi pasar produk pangan dan industri dari negara-negara maju.

Selain itu, pasca kebuntuan perundingan WTO (2009), Indonesia semakin aktif terlibat dalam berbagai perundingan perdagangan bebas melalui Free Trade Agreement (FTA). Negara ini telah menandatangani ASEAN Charter untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dan melakukan perdagangan bebas dengan negara-negara seperti China, India, Korea, berikutnya dengan Jepang, Uni Eropa (EU) dan Amerika Serikat (AS).

Celakanya adalah negara-negara yang menjadi pesaing dagang Indonesia tersebut adalah negara-negara yang sangat kuat baik dalam industri maupun pertaniannya. Terkait dengan tembakau misalnya, China adalah negara penghasil tembakau terbesar di dunia yang mencapai 38 persen total produksi dunia, India menduduki urutan ketiga menguasai 8,43 persen tembakau dunia dan AS urutan ke empat menguasai 5,73 persen. Sedangkan Indonesia hanya menghasilkan 2,67 persen tembakau dunia (FAO, 2007).
Akibatnya Indonesia menjadi sasaran impor berbagai kebutuhan, mulai dari besi, baja, oil product dan berbagai produk manufaktur yang bernilai tambah tinggi lainnya. Tidak hanya itu, akibat didesak pertambangan dan perkebunan skala besar sektor pertanian mengalami kemunduran. Krisis pangan memaksa Indonesia harus mengimpor pangan seperti beras, kedelai, daging, susu, gula dan bahkan impor garam.

Bahkan di tengah semakin intensifnya propaganda anti rokok di dalam negeri ternyata impor tembakau terus meningkat. Pada tahun 2003 impor tembakau sebanyak 29.579 ton, meningkat menjadi 35.171 pada tahun 2004 dan terus bertambah menjadi 48.142 ton pada tahun 2005. Tidak hanya itu, ternyata impor rokok ke Indonesia juga sangat besar yaitu mencapai 520.000 ton per tahun.

Anehnya, pada saat yang sama pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam negeri yang menekan petani tembakau dan produksi rokok melalui kebjakan menaikkan cukai dll., juga berbagai komitmen internasional seperti Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam bentuk pembatasan produksi. Kebjakan semacam ini bersifat diskriminatif, menekan industri dalam negeri satu sisi, tapi mendukung impor pada sisi yang lain.

Fenomena De-Industrialisasi
Dimana Indonesia dalam dinamika pertarungan negara-negara Industri dalam era globalisasi? Negara masih di tempat yang sama, menjadi wilayah tempat pertarungan memperebutkan sumber daya alam gas, batubara, minyak dan hasil kebun. Bahkan sekarang negara-negara industri menjadikan Indonesia sebagai tempat penting dalam mendukung kesejahteraan negara-negara utara yaitu sumber daya alam dan sekaligus pasar bagi produk olahan yang benilai tambah tinggi.

Berbagai UU telah dibuat di Indonesia dengan secara langsung diintervensi oleh lembaga keuangan multilateral, IMF, World bank dan ADB dan pinjaman langsung negara-negara maju melalui pinjaman luar negeri. Mulai dari amandemen UUD 1945 hingga UU sektoral lainnya, seperti migas, sumber daya air, UU penanaman modal dan lain sebagainya. Semuanya untuk satu kepentingan besar yaitu penyerahan kekayaan alam Indonesia kepada korporasi luar negeri untuk diusahakan dalam rangka memenuhi kebutuhan negara-negara maju.

Apa yang menjadi haluan kebijakan Indonesia, setidaknya selama era reformasi adalah suatu proyek dalam rangka penghancuran kekuatan produktif rakyat dan memperparah de-industrialisasi nasional. Akibatnya negera ini mengalami apa yang disebut de-industrialisasi negatif, sebuah gejala de-industrialisasi yang terus menerus sebelum dapat mencapai industrialisasi. (Prof. Ine Minara Ruki, 2007).

Sember daya alam bangsa ini habis diekspor, Indonesia menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Lebih dari 75 persen gas diekspor dalam rangka memenuhi kebutuhan energi negara-negara Industri maju. Sementara di dalam negeri berbagai industri mengalami kebangkrutan akibat tidak mendapat pasokan gas. Demikian pula dengan bahan tambang mineral dan hasil alam lainya diekspor dalam bentuk bahan mentah tanpa proses industrialisasi di dalam negeri.

Sementara Industri nasional yang mau tumbuh mengalami penghancuran secara perlahan-lahan melaui kebijakan yang didukung hutang luar negeri. Proyek liberalisasi pengelolaan migas yang dibiayai oleh Bank Dunia telah terbukti menghancurkan pertamina dan Industri migas nasional seperti yang kita saksikan sekarang ini. Hal yang sama menimpa usaha-usaha yang dikerjakan oleh badan usaha milik negara dari hulu sampai ke hilir perlahan-lahan, lahan dipecah-pecah, dilemahkan, tidak hanya melalui produk perundang-undangan akan tatapi juga melalui berbagai propaganda dan kampanye yang didanai dengan anggaran yang sangat besar. Ini sangat jelas terlihat di belakang seluruh proyek privatisasi PLN dan BUMN lainnya.
Tak terkecuali usaha-usaha yang dikerjakan oleh rakyat juga direcoki dengan berbagai isu dan kebijakan. Tampak motifasi utama dari semua kebijakan adalah agar usaha-usaha bangsa Indonesia tidak tumbuh menjadi usaha yang terintegrasi secara kuat dari hulu sampai ke hilir. Sebagai contoh, keluarnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 mengenai kenaikan cukai rokok dinilai oleh Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) menyebabkan bangkrutnya perusahaan rokok. Disebutkan akibat kebijakan tersebut jumlah pabrik rokok di Malang Raya terus menurun dari 114 pabrik pada tahun lalu, kini hanya tersisa sekitar 30 pabrik rokok kecil.

De-industrialisasi menimbulkan dampak semakin langkanya lapangan pekerjaan pada sektor formal dalam industri dan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menjamin penghidupan rakyat. Data statistik menyebutkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal mencapai 78 persen dari 104 juta tenaga kerja. Kondisi mereka hampir sama dengan pengangguran penuh yang jumlahnya berkisar antara 9-11 juta jiwa.

Rokok sebagai Industri Terakhir
Terlepas dari berbagai kontroversi yang terjadi dalam masyarakat, harus diakui bahwa rokok merupakan salah satu industri nasional yang tersisa dari sekian banyak industri lainnya yang telah mengalami penghacuran terlebih dahulu. Kegiatan pengusahaan rokok mulai dari hulu sampai ke hilir masih dikerjakan oleh rakyat Indonesia sendiri, sebagian besar diantaranya adalah perusahaan-perusahaan nasional dan kegiatan perdagangannya di dalam negeri telah melibatkan rakyat secara luas.
Seluruh proses produksi rokok mulai dari bahan baku yakni tembakau hingga produk akhir yaitu rokok dikerjakan di dalam negeri. Pada seluruh lini produksi ini dapat dipastikan akan menyerap tenaga kerja dan memberi nilai tambah pada perekonomian.
Berbeda sekali dengan industri lainnya di Indonesia yang sebagian besar adalah industri bernilai tambah rendah dimana sebagian besar komponen bahan bakunya berasal dari impor. Keadaan ini dibuktikan dari statistik impor Indonesia dimana 70 persen lebih adalah impor bahan baku. Sisanya adalah barang modal dan barang konsumsi. Industri yang fully integrated semacam industri rokok lebih membuka peluang bagi penyerapan tenaga kerja yang besar.

Ketua Dewan Pertimbangan HKTI, Siswono Yudhohusodo, tembakau dan industri hasil ikutannya (rokok) selama ini telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap ekonomi nasional. "Dari sisi hulu sampai hilirnya, industri tembakau atau rokok menyerap Tenaga Terlibat Langsung (TTL) sebesar 6,1 juta.

Bandingkan dengan industri tambang yang menjadi primadona pemerintah dalam beberapa waktu belakangan hanya menyerap 34 ribu tenaga kerja langsung (ESDM, 2007) . Padahal luas lahan yang dialokasikan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara saja mencapai 44 juta hektar. Bandingkan dengan lahan untuk pertanian tembakau yang hanya seluas 198 ribu ha (2007). Ini disebabkan kegiatan pertambangan hanya merupakan ekploitasi bahan mentah untuk pasar ekspor dan bernilai tambah rendah secara ekonomi. Sedangkan tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh pertambangan sangat besar, bersifat massal dan cenderung tidak terprediksi baik secara ekonomi, dampak lingkungan maupun kesehatan manusia.

Dengan dukungan sumber daya alam khsususnya tanah yang relative kecil, pertanian tembakau menciptakan industry hulu yang luas. Jumlah pabrik rokok yang saat ini telah mencapai 4416 pabrik ( golongan I: 6 pabrik, golongan II: 27 pabrik, golongan III: 106 pabrik, golongan IIIA: 282 pabrik, dan sisanya adalah pabrik golongan III B (2007). Dari total industri rokok tersebut, sebesar 75 persen terdiri dari rokok kretek, sebesar 17,2 persen mild dan 7,7 rokok putih.

Rata-rata penyerapan tenaga kerja industri rokok per perusahaan secara keseluruhan adalah sebesar 765 orang per perusahaan. Industri rokok kretek (31420) yang terdiri dari SKM dan SKT mampu menyerap rata-rata sebesar 851 orang per perusahaan. Industri rokok putih (31430) yang merupakan penghasil rokok putih (SPM) rata-rata per perusahaan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 437 orang, dan industri rokok lainnya rata-rata per perusahaan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 126 orang.
Hanya saja yang perlu dibenahi adalah tingkat upah pekerja yang bekerja pada berbagai industri rokok yang masih berada dibawah rata-rata upa pekerja sektor lainnya, seperti makanan dan minuman, pakaian jadi, logam dll. Rata-rata upah sektor tembakau atau rokok menurut data BPS menurun dari Rp 807.6 ribu pada desember 2007 menjadi Rp 770.1 ribu pada September 2009.

Sementara dari sisi penerimaan negara, industri ini menyumbangkan pendapatan yang cukup besar. Direktur Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Frans Rupang di Denpasar, Kamis (14/1/2010) menyatakan cukai dari produksi seluruh pabrik rokok berdasarkan tingkat produksi totalnya sepanjang tahun lalu mampu menghasilkan Rp 56,4 triliun sebagai penerimaan negara.

Selanjutnya, rantai perdagangan rokok dikerjakan oleh masyarakat Indonesia sendiri, bahkan sebagian besar diantaranya adalah informal sector seperti pedagang kaki lima, warung-warung kopi dan lain sebagainya. Industri juga menciptakan multiflier effect baik dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat di luar industri tersebut. Efek ganda ini diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan apa yang dihasilkan dalam rantai produksi industri ini.

Kesimpulan
Fakta –fakta di atas menggambarkan kepada kita bahwa isu pembatasan, rokok haram dan berbagai restriksi tentang tembakau dan rokok harus dilihat secara ekonomi politik, baik sebab maupun dampak-dampaknya. Keberadaan rokok tidak dapat dipandang dari isu kesehatan semata.

Berbagai perundingan internasional baik yang secara langsung berkaitan dengan tembakau dan rokok maupun yang berhubungan dengan investasi dan perdagangan secara keseluruhan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia mutlak harus diwaspadai oleh masyarakat. Banyaknya utang dan komitmen bantuan dana dari luar negeri di belakang semua perjanjian internasional, termasuk agreement tentang rokok menjadi penyebab masuknya berbagai agenda asing dalam produk UU dan kebijakan nasional.

Selain itu, isu anti rokok yang semakin intensif tepat pada saat agenda liberalisasi perdagangan (free trade agreement) semakin marak, tampaknya berpotensi merugikan ekonomi dalam negeri, dikarenakan negara-negara yang menjadi pesaing dagang utama Indonesia dalam perdagangan internasional adalah negara-negara yang merupakan produsen tembakau cukup besar. Ada kecenderungan bahwa upaya pelemahan industri rokok nasional adalah bagian dari upaya untuk mendukung impor rokok dari luar negeri.

Semestinya jika pemerintah hendak membatasi rokok dan juga mengurangi industrinya maka harus diringi dengan upaya untuk menyediakan alternatif industri nasional lainnya yang kuat dan sanggup menyediakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi masyarakat. Sepanjang hal tersebut belum dapat dilakukan pemerintah maka tidak ada alasan untuk menjalankan kebijakan tersebut karena sama saja dengan menghancurkan sumber pekerjaan dan penghidupan rakyat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar